Benarkah diantara presiden dengan menterinya atau antara para menteri tidak ada komunikasi. Sebegitu parahkah manajemen organisasi/mekanisne kerja kabinet saat ini sehingga berimbas pada kebijakan yang menyengsarakan rakyat/negara tidak hadir mengurus rakyat.
Apakah kenaikan PPN yang akan mendorong inflasi dan berpengaruh pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik untuk nonsubsidi, serta penyesuaian harga LPG nonsubsidi untuk kesekian kalinya, harus dinaikan saat ini juga.
Baca Juga:
Jaga Pasokan, Pemerintah Perbarui Kebijakan Pengendalian Minyak Goreng Pasca Lebaran
Apakah Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng dengan besaran Rp 300 ribu yang tengah disiapkan untuk tiga bulan akan menyelesaikan fenomena kenaikan berjamaah ini ?
Sindiran Presiden kepada para menteri seperti disampaikan di atas terkait kenaikan harga minyak goreng hingga Pertamax cukup beralasan.
Krisis minyak goreng terus berlanjut, bahkan kemungkinan komoditas lain pun seperti solar bisa mengikuti pola minyak goreng ini, tapi peran menteri terkait belum banyak dirasakan masyarakat sebagai konsumen.
Baca Juga:
Minyakita Langka di Banyak Daerah, Konsumen Menjerit
Banyak masyarakat yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah/menteri dalam mengatur minyak goreng. Pemerintah yang semula dinilai pro rakyat malah berbalik menjadi pro pengusaha.
Buktinya, dengan dicabutnya Permendag No.6/2022 dan diterbitkannya Permendag No.8/2022. Untuk menurunkan harga migor, diterbitkan Kepmendag No. 170/2022 tentang DMO dan DPO. Namun kebijakan ini mendapat penolakan dari kalangan pengusaha dan hanya berjalan seminggu, pemerintah memutuskan untuk menghapus kebijakan tersebut.
Di sisi lain, peran kartel yang tersembunyi melebihi kekuasaan Pemerintah. Pemerintah mengakui telah kalah dari mafia. Kementerian perdagangan tidak mampu mengendalikan ketersediaan minyak goreng sehingga mencabut aturan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan dan mengembalikan penentuan harga kepada pasar.