Pelarangan ekspor batu bara memang bukan pertama kali dilakukan pemerintah. Pada 31 Desember 2021 lalu, Kementerian ESDM melarang ekspor secara mendadak. Kapal-kapal pengangkut batu bara yang sudah siap berlayar bahkan terpaksa putar balik.
Kedutaan Besar Jepang sampai harus mengirim surat khusus kepada Pemerintah RI agar melonggarkan kebijakan pelarangan eskpor. Stok batu bara untuk pasar domestik perlahan membaik sejak awal tahun. Pemerintah pun akhirnya membuka kembali keran ekspor setelah memastikan stok batu bara lokal terpenuhi.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Namun, ini rupanya hanya bertahan beberapa bulan saja. Sejak akhir Juli lalu, PLN mulai mengadu kepada Kementerian ESDM karena keterbatasan stok. Wakil Presiden Eksekutif Batu Bara PLN Sapto Aji Nugroho menyebut harga jual ekspor batu bara memang jauh lebih menarik bagi para penambang. Dalam satu pengiriman kapal bermuatan 70.000 ton saja, penambang bisa mengantongi selisih Rp 190 miliar ketimbang mengirimkannya ke PLN.
“Ini yang membuat kami sulit mendapatkan pasokan,” kata Sapto.
PLN sebetulnya sudah punya mekanisme denda bagi perusahaan yang alpa menyetor pasokan. Nilainya berupa selisih antara harga domestik dan harga ekspor. Namun, ini hanya berlaku bagi perusahaan berkontrak dengan PLN. Bagi yang tidak punya kontrak, dendanya cuma US$ 18 per ton.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menghitung nilai kompensasi ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan keuntungan ekspor. Tidak heran jika saat ini, banyak perusahaan enggan menekan kontrak dengan PLN.
“Lebih untung produsen membayar kompensasi daripada berkontrak atau menjual batu bara dalam negeri. Lebih baik direvisi peraturannya,” kata Mamit kepada dikutip dari Katadata, Rabu (17/8/22).
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa, ketidaan peta kebutuhan batu bara berdasarkan kualitas kalori juga menyebabkan pasokan seret. Pasalnya, tidak semua produsen batu bara memiliki spesifikasi yang sesuai dengan kebutuhan PLN.