WahanaNews-Kaltim | Widodo Santoso merasa kelimpungan beberapa bulan terakhir. Kenaikan harga batu bara yang terus meroket membuat sejumlah pelaku usaha kelabakan, termasuk para pebisnis semen.
Widodo kini memegang jabatan strategis sebagai Ketua Asosiasi Semen Indonesia (ASI) yang menaungi 14 produsen utama semen di Indonesia. Widodo bercerita, industri semen setidaknya butuh 8-10 juta ton agar bisa beroperasi maksimal. Namun dengan disparitas tinggi harga batu bara domestik dan internasional, para produsen emas hitam enggan menjual produknya ke perusahaan semen.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Sebagai gambaran, produsen batu bara diwajibkan menjual batu bara dengan harga US$ 70 per ton untuk menyuplai pembangkit PLN dan US$ 90 untuk industri. Padahal, saat ini harga batu bara dNewcastle pada Selasa (16/8) misalnya, sudah tembus US$ 407,5 per ton.
“Ada produsen yang menjual batu bara di atas harga DMO. Ini kami laporkan ke Dirjen Minerba,” katanya pekan lalu.
Widodo menyebut dua bulan silam, Kementerian ESDM memberikan jatah 2,5 juta ton batu bara kepada 14 industri semen. Padahal, idealnya industri semen butuh paling tidak 8-10 juta ton agar bisa beroperasi maksimal.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
“Ini [2,5 juta ton] tiga bulan juga habis,” kata Widodo.
Industri semen dan pupuk sebetulnya salah satu industri yang harus menjadi prioritas para penambang batu bara. Tahun ini, penambang wajib menyerahkan 167 juta ton kepada PT Perusahaan Listrik Negara dan 35 juta ton untuk sektor industri, termasuk semen dan pupuk. Sementara kebutuhan batu bara untuk industri semen tahun ini 16 juta ton, hanya 4% dari rencana ekspor batu bara 450 juta ton.
Persoalan Lawas Pasokan Batu Bara