Di negeri ini, rebakan urban menghasilkan kawasan raksasa Jabodetabek yang penuh sesak sejak sekitar tahun 1980 sampai sekarang.
Hampir separuh abad berlalu, sebagai kawasan yang selalu disebut sebagai pusat penggerak 70 persen ekonomi Indonesia, Jabodetabek masih terengah-engah mengikis ketertinggalan dalam penyediaan air bersih dan drainase memadai bagi lebih dari 30 juta warganya.
Baca Juga:
Destinasi Hits Terbaru Indonesia, 5.000 Wisatawan Serbu IKN Setiap Hari
Di Jabodetabek ini, masih menumpuk pula pekerjaan rumah membangun jaringan transportasi publik untuk mengatasi kemacetan, menekan polusi udara, menyediakan alternatif bermobilitas murah, sehat, lagi ramah lingkungan bagi masyarakat menengah ke bawah.
Ini belum termasuk tuntutan menyediakan hunian urban sehat tetapi terjangkau yang masih jauh dari tercapai.
Yang menyedihkan, apa yang terjadi di Jabodetabek diduplikasi di kawasan metropolitan lain di Indonesia.
Baca Juga:
Prabowo Lantik Basuki Hadimuljono sebagai Kepala OIKN
Isu banjir, kemacetan, air bersih, hingga kemiskinan dan ketimpangan pun direplikasi seiring peningkatan kegiatan ekonomi di kawasan-kawasan tersebut.
Kota-kota baru besutan swasta menjamur di tengah pesatnya pertumbuhan kawasan.
Menyatakan diri laksana permata dan oase di antara keruwetan metropolitan, tetapi senyatanya kota-kota baru menjadi bagian dari permasalahan urban itu sendiri.