WahanaNews-Kaltim | Jika di Kuningan, Jakarta, ada gedung Merah Putih yang selama ini menjadi simbol utama gerakan/perlawanan terhadap korupsi di republik ini, kalau di Bengkulu, ada Perpustakaan Merah Putih.
Meskipun memiliki nama yang sama, kondisi kedua bangunan tersebut jauh berbeda.
Baca Juga:
Proyek IKN Disetop Sementara per 10 Agustus, Basuki Beberkan Alasannya
Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri kokoh dengan 16 lantai, serta menjadi tempat beraktivitas bagi 1.351 pegawai.
Sementara Perpustakaan Merah Putih di Bengkulu itu hanya sebuah bangunan kecil seluas 3 meter x 4 meter persegi yang menempati salah satu sudut area berolahraga Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas II A Bengkulu yang berdiri di atas lahan seluas 52.134 meter persegi.
Bangunannya pun berbahan dasar tripleks.
Baca Juga:
Dua Pegawai KPK Diperiksa Sebagai Saksi Kasus Dugaan Pungli Rutan
Meskipun sederhana, perpustakaan itu menjadi pusat literasi bagi para narapidana yang tinggal di lapas tersebut.
Ada 733 narapidana yang menghuni Lapas Kelas II A Bengkulu dengan luas bangunan 3.500 meter persegi berkapasitas 686 orang itu.
Sebanyak 433 orang atau 59 persen di antaranya merupakan narapidana kasus narkoba, sedangkan 246 orang kasus pidana umum, dan 54 orang lainnya kasus korupsi.
Meski baru memiliki 300-an judul buku, tempat ini dapat menjadi oase bagi narapidana menghabiskan waktu, menunggu masa pembebasan tiba yang barang kali baru tiba bertahun-tahun mendatang.
Renold, terpidana kasus narkoba, misalnya.
Saat ditemui wartawan pada Kamis (18/11/2021) sore, ia mengaku sangat terbantu dengan kehadiran perpustakaan mini ini.
”Ngisi waktu kosong. Daripada ngelamun, enak baca di sini,” katanya.
Sebelum masuk penjara, membaca buku merupakan kegiatan yang jarang dilakukan oleh Renold.
Namun, ia seakan ”dipaksa” mengakrabi lembar demi lembar kertas yang dengan mudah dapat diaksesnya melalui Perpustakaan Merah Putih sehingga masa delapan tahun di penjara bisa dilewatinya.
Dengan membaca, ia dapat membunuh waktu.
Saat ini, ia baru menjalani masa pidananya selama tiga tahun.
Renold biasanya membaca buku-buku tentang agama atau peternakan, misalnya cara beternak ikan atau ayam.
Renold ”menabung” pengetahuan tentang budidaya hewan sehingga siap untuk membuka usaha setelah waktu bebas tiba nanti.
Buku-buku tersebut dibacanya di meja yang disediakan pihak perpustakaan sembari menghirup sedikit kelegaan setelah semalaman terkungkung di selnya.
Renold tak sendiri.
Pada Kamis sore, ketika wartawan berkunjung ke LP Kelas IIB Bengkulu, belasan narapidana dan tahanan juga memanfaatkan waktunya dengan membolak-balik buku yang mereka pegang.
Salah satu napi menunjukkan bacaan tentang toleransi antarumat beragama yang tengah dibacanya.
Rupanya, ia tengah mencoba memahami buku berjudul ”Kerukunan Umat Beragama” terbitan Chyyas Putra Semarang.
Kepala Lapas Kelas II A Bengkulu, Ade Kusmanto, mengungkapkan, selain untuk mengisi waktu, keberadaan perpustakaan tersebut dimaksudkan agar para narapidana dapat menambah pengetahuan.
Diharapkan, mereka akan menjadi manusia yang sadar akan kesalahannya, tidak melanggar hukum lagi, serta bisa menjadi manusia mandiri.
Yang terpenting, semua yang dibaca dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, baik saat masih tinggal di LP maupun setelah bebas.
”Misalnya, mereka membaca buku tentang keterampilan beternak ayam. Diharapkan, setelah menguasai teori, bisa dipraktikkan di dalam LP melalui program pembinaan bengkel kerja di lapas, dan setelah bebas menjadi peternak ayam. Paling tidak seperti itu,” ujarnya.
Begitu pula jika para warga binaan tersebut mengonsumsi materi tentang Pancasila dan wawasan kebangsaan, diharapkan mereka dapat menginternalisasi nilai-nilai Pancasila.
Dalam penyediaan bahan bacaan, menurut Ade, LP Kelas II A Bengkulu bekerja sama dengan Perpustakaan Daerah Provinsi Bengkulu yang menyediakan buku-buku tersebut.
Perpustakaan Provinsi Bengkulu akan menukar bahan-bahan bacaan yang ada secara berkala supaya para narapidana tidak bosan atau kehabisan bahan bacaan.
Menurut Ade, kerja sama Perpustakaan Provinsi Bengkulu dengan pihak LP akan lebih ditingkatkan lagi dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan lanjutan, seperti bedah buku, lomba literasi, dan lainnya.
”Kegiatan ini, kan, memotivasi warga binaan untuk membaca. Dengan membaca, mereka mempunyai wawasan yang luas, bisa menjadi manusia yang sadar hukum, mempunyai kompetensi, dan tidak mengulangi tindak pidana,” ujar Ade.
Untuk buku-buku yang masuk, ada kriteria khusus.
Ade menyebutnya buku yang tidak mengundang permasalahan, baik secara hukum maupun sosial.
Misalnya, buku-buku tentang aliran radikalisme atau paham-paham yang memicu perpecahan.
”Kami lebih mengedepankan buku-buku seperti buku motivasi, seri psikologi misalnya bagaimana bangkit dari keterpurukan. Kedua, buku keterampilan agar membantu warga binaan menjadi pribadi yang mandiri. Kemudian buku-buku ideologi, pengetahuan wawasan kebangsaan, agar mereka bisa hidup bertoleransi dengan berbagai suku ras di Tanah Air,” kata Ade.
Literasi Pancasila
Keberadaan Perpustakaan Merah Putih juga akan dimanfaatkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) untuk menyosialisasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila.
Narapidana dan tahanan menjadi salah satu sasaran yang digarap BPIP untuk memperluas literasi Pancasila.
Direktur Komunikasi dan Sosialisasi BPIP Akbar Hadi Prabowo mengungkapkan, narapidana dan tahanan menjadi sasaran sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai Pancasila.
BPIP mengembangkan berdirinya Klinik Pancasila dan mendukung beroperasinya Perpustakaan Pancasila sebagai sarana bagi narapidana/tahanan menggali pengetahuan.
Kerja sama formal antara BPIP dan Direktorat Pemasyarakatan sudah dijalin sejak April 2019.
Hingga saat ini, Perpustakaan dan Klinik Pancasila sudah ada di LP dan rutan di tiga wilayah, yaitu Lampung, Aceh, dan Yogyakarta.
”Nilai-nilai Pancasila sebenarnya sudah diterapkan dalam kehidupan di dalam lapas. Misalnya, interaksi sesama napi yang bersal dari berbagai latar belakang suku dan agama bisa hidup saling tenggang rasa, toleransi, dan saling memahami,” kata Akbar.
BPIP bersama Ditjen Pemasyarakatan menurut rencana akan menyusun Pedoman Sosialisasi Ideologi Pancasila bagi warga binaan dan petugas pemasyarakatan.
Tak hanya mengenai ideologi Pancasila yang dikedepankan, LP Kelas II A Bengkulu juga menerapkan sebuah sistem unik dalam pembinaan narapidana.
Kepala Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) Kelas II A Bengkulu Nando mengungkapkan, pihaknya memiliki blok khusus yang disebut Blok Santri.
Blok tersebut dihuni oleh narapidana yang telah memenuhi kualifikasi tertentu, seperti menghafal sejumlah juz Al Quran.
Di setiap blok, ada kamar khusus bagi mereka yang berminat mendalami agama yang disebut kamar santri.
Nantinya, narapidana yang sudah memenuhi kualifikasi tertentu dipindahkan ke Blok Santri.
Bukan Akhir Segalanya
Dalam beberapa kesempatan, Kepala BPIP Yudian Wahyudi saat itu mengungkapkan bahwa membaca itu sebuah mukjizat bermanfaat sepanjang zaman.
Bahkan, ia menilai dengan memanfaatkan buku-buku yang ada di perpustakan, seseorang termasuk narapidana akan memiliki jiwa baru dan juga keterampilan baru.
Yudian menyemangati para napi bahwa penjara bukanlah akhir perjalanan hidup.
Banyak tokoh di dalam sejarah yang merasakan dinginnya hidup di balik jeruji besi.
Presiden RI pertama Soekarno telah membuktikannya.
Semasa hidupnya, Soekarno pernah menghuni Penjara Banceuy Bandung, LP Sukamiskin, hingga sejumlah tempat pengasingan.
Kondisi tersebut membuat Soekarno muda menenggelamkan diri dalam buku bacaan.
”Dengan berbagai alasan, banyak tokoh dipenjara sejak dahulu kala,” ujarnya.
Tak hanya Soekarno, pemimpin-pemimpin dunia lain juga pernah dipenjara.
Sebut saja Benazir Bhutto (perempuan perdana menteri pertama di Pakistan), Fidel Castro (Presiden ke-17 Kuba), Xanana Gusmao (pernah menjadi Presiden dan Perdana Menteri Timor Leste), dan Nelson Mandela (Presiden Afrika Selatan yang mendekam di penjara selama 27 tahun dari pidana seumur hidup yang dijatuhkan kepadanya).
Meski badan terperangkap dan tak dapat bergerak bebas, tebalnya tembok penjara tak mampu mengerangkeng pikiran dan jiwa bebas.
Buktinya, tak sedikit karya besar yang justru dilahirkan di saat pengarangnya mengalami krisis kebebasan di fase kehidupannya.
Tak sedikit karya-karya besar yang dilahirkan dari penjara. Misalnya, buku Description of the World atau yang dikenal dengan Travel karya Marco Polo yang menceritakan petualangannya selama 24 tahun di Benua Asia, termasuk masa-masa dia mengabdi pada Kubilai Khan.
Mein Kampf juga dihasilkan oleh Adolf Hitler ketika berada di penjara selama 13 bulan karena memimpin Gerakan Munich Beer Hall Putsch tahun 1923.
Soekarno sendiri menulis Indonesia Menggugat yang merupakan pleidoi atau pembelaannya saat ditangkap Belanda dan kemudian dihukum selama 4 tahun.
Di masa berikutnya, ada Tan Malaka yang menuliskan pergulatan batinnya dalam buku Dari Penjara ke Penjara.
Masyarakat tentu juga tak lupa dengan karya besar Pramoedya Ananta Toer, tetralogi Pulau Buru, yakni Bumi Manuisa, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.
Karya Pram tersebut dihasilkan ketika ia dipenjara di Pulau Buru selama 10 tahun.
Melihat kenyataan di atas, benar adanya bahwa penjara bukanlah menjadi akhir segalanya.
Sebuah krisis di dalam fase hidup seseorang justru menjadi pendorong untuk melahirkan karya-karya terbaik dan monumental.
Proklamator kita, Bung Hatta, menyadari hal tersebut.
Ia bahkan sempat mengungkapkan kerelaannya hidup di penjara dengan catatan ditemani buku.
Ia sempat berujar, ”Aku rela di penjara asalkan bersama buku. Sebab, dengan buku, aku bebas.” [ass]
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Dari Penjara, Literasi Pancasila Digaungkan”. Klik untuk baca: Dari Penjara, Literasi Pancasila Digaungkan - Kompas.id.