Kaltim.WahanaNews.co, Jakarta - Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN (desain), Density (kepadatan), Diversity (keberagaman), Digitalization (digitalisasi), dan Decarbonization (dekarbonisasi).
Bambang menjelaskan masa depan Asia adalah perkotaan di mana banyak kota-kota di Asia yang berkembang pesat karena dorongan peluang ekonomi dan sosial.
Baca Juga:
Destinasi Hits Terbaru Indonesia, 5.000 Wisatawan Serbu IKN Setiap Hari
"Sebanyak 17 dari 33 kota Asia memiliki populasi lebih dari 10 juta jiwa atau yang sering kita sebut sebagai megapolitan atau megapolis," kata Bambang dalam pidato saat prosesi pengangkatan dirinya sebagai profesor kehormatan Universitas Diponegoro yang dipantau secara daring dari Jakarta, Sabtu (09/12/23).
Dia menambahkan, antara 1970 hingga 2017 populasi perkotaan di Asia meningkat rata-rata 3,4 persen per tahun, lebih besar dari negara-negara berkembang di benua yang lain.
Namun, pertumbuhan tersebut juga menimbulkan tantangan dan permasalahan, seperti peningkatan kesenjangan ekonomi, berkurangnya kohesi sosial, dan degradasi lingkungan serta meningkatnya risiko bencana.
Baca Juga:
Prabowo Lantik Basuki Hadimuljono sebagai Kepala OIKN
Selain itu, pandemi COVID-19 menimbulkan tantangan baru bagi kota-kota di Asia yang berkaitan dengan bentuk perkotaan, kepadatan, dan perlindungan sosial.
Oleh karena itu, menurut Bambang, diperlukan penerapan kebijakan secara konsisten, agar tercapai mobilitas yang lebih aman, ramah lingkungan dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
"Saya menawarkan pendekatan 5D yang dapat dipertimbangkan untuk menelaah ulang kondisi lingkungan perkotaan," katanya.
Pertama yakni "Design" atau desain perkotaan. Menurutnya, desain spasial perlu ditinjau ulang agar lebih terdesentralisasi dan lebih mampu mengatasi berbagai guncangan termasuk ekonomi, finansial, kesehatan, dan perubahan iklim.
Hal tersebut dapat dilakukan antara lain melalui pembangunan kawasan mandiri, ketercukupan ruang terbuka hijau dan kawasan publik.
"Serta didukung oleh akses terhadap transportasi umum dan penerapan teknologi berbasis big data yang memanfaatkan artificial intelligence dan internet of things," tambahnya.
Berikutnya, yaitu "Density" atau kepadatan di mana pengalaman saat pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa kepadatan dapat membawa kerugian sekaligus keuntungan.
Menurutnya, pandemi terbukti cepat menyebar di kawasan padat, di saat yang sama kawasan yang padat mendukung terjadinya perputaran ekonomi adanya karantina wilayah.
"Kedua hal tersebut menunjukkan perlunya dirumuskan satu keseimbangan baru bagi kepadatan penduduk yang ideal dalam sebuah kawasan," ujarnya.
Kemudian, "Diversity" atau keragaman, pandemi menyadarkan pentingnya kemudahan akses ke layanan dasar bagi seluruh warga kota tanpa terkecuali, termasuk pekerja informal dan kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, lansia, dan anak-anak.
"Pengembangan kota berbasis keterjangkauan juga menjadi prioritas seperti konsep walkable city dan ten minutes city," tambahnya.
Selanjutnya adalah "Digitalization" atau digitalisasi yang menurutnya ada suatu keniscayaan pada masa kenormalan baru (new normal).
Bambang menyebutkan digitalisasi dapat membuka peluang bagi usaha mikro dan kecil, mendorong proses otomatisasi yang humanis, dan memberi metode alternatif bagi masyarakat dalam mengkonsumsi barang dan jasa.
"Selain itu, digitalisasi juga telah memberikan dampak pada aspek pendidikan kesehatan dan juga lapangan pekerjaan," imbuhnya.
Terakhir, Bambang menekankan terkait isu "Decarbonization" atau dekarbonisasi karena perubahan iklim dan berbagai permasalahan yang diakibatkannya telah dan akan sangat mewarnai pembangunan dan pengelolaan kota.
Dia mendorong pemerintah kota dan pemangku kepentingan lainnya untuk memiliki rencana aksi yang spesifik dan dapat terukur baik untuk mitigasi maupun adaptasi dari perubahan iklim.
“Karena itu, kehidupan perkotaan yang rendah karbon menjadi sangat penting dalam manajemen pembangunan kota,” terangnya.
[Redaktur: Amanda Zubehor]