WahanaNews-Kaltim | Maraknya produsen otomotif memperkenalkan kendaraan listrik dengan niatan untuk mengurangi emisi karbon. Hanya saja saat ini listrik yang dihasilkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih menggunakan batu bara. Namun, PLN menjelaskan berniat akan menghentikan produksi listrik menggunakan batu bara.
Seperti yang disampaikan Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PT PLN, Bob Saril, di Bali. Dirinya memastikan untuk bisa mengalihkan produksi listrik menggunakan batu bara dengan energi lainnya membutuhkan proses.
"Sesuai dengan arahan pak Presiden (Joko Widodo) PLN akan transisi pada 2060 zero emisi, kita akan memensiunkan beberapa PLTU, tapi ini butuh banyak financing. Ini yang masih kita cari financing yang murah, kalau mahal bisa merugikan masyarakat juga," ucap Bob.
Baca Juga:
PLN dan Pemkot Operasikan SPKLU Khusus Angkot Berbasis Listrik di Kota Bogor
"Hal tersebut agar masyarakat beli listrik tidak terlalu mahal, jadi kita selaras saja. Dan kita mekanismenya harus bertahap, saat ini kan kita sudah pindahkan dari Jawa ke bali untuk PLTGU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap dan Gas)-nya pada 100 Megawatt (MW). PLN akan meninggalkan batubara itu pasti, sudah ada rencana," Bob menambahkan.
Dalam pemberitaan detikFinance sebelumnya, PT PLN (Persero) saat ini terjebak dalam dilema. Di satu sisi, PLN ingin melakukan transisi ketenagalistrikan menuju energi bersih, tapi terdapat kondisi kelebihan pasokan (oversupply) yang dapat mempengaruhi kondisi keuangan PLN jika kelebihan ini tidak dikelola dengan baik. Karena itu, rencana pensiun dini PLTU batu bara perlu diterapkan untuk membuka ruang penambahan pembangkit terbarukan dan mencapai target 23% bauran energi.
Solusi lainnya, dengan memberi peran baru bagi PLTU untuk mengubah operasi pembangkitan listriknya menjadi lebih fleksibel sehingga membantu integrasi energi terbarukan yang lebih besar. Dengan kata lain, peran PLTU adalah sebagai pendukung pada sistem (supportive role).
Baca Juga:
PLN Operasikan SPKLU Khusus Angkot Listrik di Kota Bogor
Kelebihan Pasokan
Kelebihan pasokan listrik di Indonesia kerap menjadi perbincangan. Direktur PLN Darmawan Prasodjo, saat pengumuman kenaikan laba bersih PLN pada 2021 mengungkapkan bahwa 2022 akan menjadi tahun yang berat karena besarnya potensi oversupply. Pertumbuhan permintaan yang tak sesuai perkiraan, bersama dengan cepatnya penambahan kapasitas pembangkit baru, menyebabkan kelebihan pasokan yang signifikan pada sistem ketenagalistrikan Indonesia.
Sistem reserve margin Jawa-Bali, pasar listrik terbesar, adalah 40% pada 2020 dan 59,5% pada 2021, menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Nasional (RUPTL) 2021-2030. Tahun ini diperkirakan ada tambahan 7 GW PLTU baru di sistem kelistrikan PLN yang menyebabkan reserve margin mencapai 45-50%. Reserve margin sebesar 35% secara umum dianggap cukup untuk menjaga keandalan dan kecukupan pasokan dalam sistem ini, yang menyiratkan kelebihan pasokan 5-25%.
Intensitas kelebihan pasokan listrik akan lebih parah jika proyek pembangkit listrik, yang menjadi bagian dari program 35 GW mulai beroperasi, yang sebagiannya adalah PLTU. Ini merupakan bagian dari program utama presiden ketika pertama kali terpilih, sehingga tidak heran jika proyek ini diprioritaskan.
Kelebihan pasokan pada sektor ketenagalistrikan dapat diartikan bahwa rencana meningkatkan penggunaan energi terbarukan akan terhambat, karena PLN akan lebih memprioritaskan penyerapan kapasitas pembangkit listrik yang ada, serta pembangkit yang memiliki perjanjian kontrak jangka panjang dan akan mulai beroperasi.
PLN baru-baru ini menyatakan niatnya untuk menunda atau tidak mengikuti penerapan peraturan baru yang bertujuan untuk mempromosikan penyerapan Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTS Atap). Peraturan ini diperkenalkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) pada Agustus 2021 untuk menghapus batasan jumlah listrik yang dapat dijual kembali oleh pemilik PLTS atap ke jaringan. Padahal, Permen ESDM ini diharapkan dapat mendorong lebih banyak investasi untuk membangun PLTS Atap.
RUPTL 2021-2030, yang diklaim hijau, menyatakan bahwa PLN memfokuskan upaya pemenuhan target 23% energi terbarukan pada 2025 dengan memprioritaskan program yang tidak membutuhkan tambahan modal baru, namun hanya memerlukan tambahan biaya operasional, salah satunya adalah co-firing (biomasa) pada beberapa PLTU. Artinya, PLN lebih memilih menghindari pembangunan baru pembangkit listrik energi terbarukan dan memanfaatkan PLTU yang ada untuk dibaurkan dengan biomasa sebagai upaya memenuhi target energi terbarukan nasional.
Mengubah Peran
Dalam kondisi kelebihan pasokan listrik, memastikan transisi berjalan akan menjadi dilema bagi PLN. Untuk mengatasi hal ini, mengubah peran PLTU menjadi pendukung (supportive role) sistem ketenagalistrikan dapat dipertimbangkan sebagai solusi yang menarik. PLTU dapat memberikan layanan secara fleksibel (tambahan dan cadangan) ke jaringan.
Tingkat penetrasi PLT Bayu (angin) dan PLTS yang lebih tinggi, meskipun penting untuk mencapai dekarbonisasi sektor kelistrikan, juga akan memerlukan fleksibilitas sistem untuk mengakomodasi pembangkit tenaga angin dan surya yang bervariasi, sambil mempertahankan kecukupan dan keandalan pasokan listrik. PLTU dapat membantu fleksibilitas sistem dengan dioperasikan sesuai kebutuhan sistem, dan bukan sebagai baseload.
Sebagai negara dengan kapasitas PLTU terbesar di dunia, China juga membangun energi terbarukan secara besar-besaran, terutama pembangkit tenaga surya dan angin, sebagai bagian dari strategi dekarbonisasi. Untuk memastikan keandalan pasokan listrik di negaranya, China berencana merenovasi PLTU yang ada menjadi lebih fleksibel dan atau sebagai kapasitas cadangan untuk menjaga stabilitas jaringan sehingga memfasilitasi proses dekarbonisasi listrik sebelum merealisasikan penghentian PLTU sepenuhnya.
Namun, akan ada tantangan dalam menerapkan strategi ini di Indonesia. Tantangan utamanya, upaya ini membutuhkan renegosiasi kontrak antara PLN dengan independent power producer (IPP) yang mengoperasikan PLTU. Kontrak saat ini menggunakan mekanisme Take or Pay, yang mengharuskan PLN menyerap listrik yang dipasok IPP dengan jumlah yang disepakati sebelumnya.
Selain itu, menggunakan PLTU sebagai sumber fleksibilitas memerlukan investasi tambahan untuk memperbaiki unit pembangkit yang ada (retrofitting), sehingga perlu pengembalian pada investasi tersebut dan hanya dapat diterapkan pada PLTU tertentu (ekspektasi umur operasi dan kontrak masih lama).
Mentransformasi peran PLTU menjadi lebih fleksibel dapat mengurangi waktu operasi (pembangkitan) tahunan PLTU. Hal ini berdampak pada pengurangan emisi di sektor ketenagalistrikan, menjamin keandalan dan ketersediaan pasokan listrik di masa transisi menuju energi terbarukan, sambil menunggu PLTU yang ada berhenti beroperasi sepenuhnya pada 2050 sebagaimana rencana pemerintah. [ss]