Dia menjelaskan, di beberapa negara maju, hukum seperti ini sudah lama dilaksanakan dalam rangka melibatkan korban dalam menyelesaikan masalah yang pada kenyataan yang terjadi, korban sering hanya sebatas saksi di persidangan tanpa mendapatkan hak-hak ganti rugi, rehabilitasi dan kompensasi dengan jalan damai.
"Sehingga saya memandang Rumah restorative justice ke depan harus ada regulasi yang memadai dan ada pendanaan secara berkala. Sehingga eksistensinya dapat terjaga, karena dalam implementasinya pasti melibatkan berbagai pihak membutuhkan operasional yang memadai baik sarana dan prasarana keterlibatan Pemerintah Daerah sangat diperlukan," jelas Nyoman.
Baca Juga:
Jaksa Tolak Pleidoi, Kuasa Hukum Supriyani Tetap Yakin Akan Putusan Bebas
Selanjutnya, kata dia, perlu dipikirkan ke depan pembentukan Rumah Restorative Justice ini tidak cukup dengan satu Kejaksaan Negeri memiliki satu Rumah Restorative Justice.
Tetapi secara bertahap, mulai dari setiap kecamatan memiliki satu Rumah Restorative Justice. "Selanjutnya satu desa memiliki satu Rumah Restorative Justice," usul Nyoman.
Sehingga sesuai dengan semangat Rumah Restorative Justice mendekatkan nilai-nilai keadilan, musyawarah, persatuan di dalam masyarakat dan kemanfaatan hukum serta kepastian hukum untuk keharmonisan dan kedamaian dapat diwujudkan.
Baca Juga:
Jaksa Bidik Proyek PSU Milik Suku Dinas PRKP Jakarta Pusat
Dia menambahkan, rumah Restorative Justice sebagai ladang baru bagi akademisi untuk sarana penelitian dan edukasi tentang bagaimana keberadaan Rumah Restorative Justice dapat mengubah perilaku masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
"Namun yang paling terpenting dari semua itu adalah aparatur Kejaksaan menjaga konsistensi, integritas dan profesionalisme dalam pelaksanaan operasional Rumah Restorative Justice," tutup dia.
Armiadi bin Rusli kini bisa bernafas lega. Buruh harian lepas di Dinas Pariwisata Kota Sabang, ini tak jadi duduk di kursi persidangan.