WahanaNews-Kaltim | Harga bahan pangan diperkirakan masih akan terus naik sampai beberapa hari jelang Lebaran.
Minyak goreng, misalnya. Harganya, baik minyak goreng kemasan maupun minyak goreng curah mahal sejak akhir tahun lalu. Harganya tak kunjung turun hingga sekarang.
Baca Juga:
BPS Kabupaten Buol Intensifkan Pemantauan Harga Bahan Pokok untuk Stabilitas Harga
Ironisnya, di tengah harga minyak goreng yang mahal, komoditasnya pun langka. Ibu-ibu seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
Menurut penuturan Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri, kenaikan harga terjadi merata di berbagai komoditas pangan.
Ia merinci cabai rawit merah melonjak hampir 100 persen dari harga normal yang biasanya Rp30 ribu-Rp40 ribu per kilogram (kg), kini menjadi Rp68 ribu-Rp70 ribu per kg.
Baca Juga:
Pemkab Gorontalo Pastikan Keamanan Pangan dengan Pengawasan dan Uji Sampel
Kemudian daging ayam naik dari Rp33 ribu per kg menjadi Rp39 ribu per kg. Lalu, daging sapi juga dari Rp130 ribuanper kg menjadi Rp140 ribuan per kg.
Demikian pula dengan telur, dari biasanya Rp22 ribu-Rp23 ribu per kg sekarang menjadi Rp25 ribu-Rp26 ribu per kg. Sedangkan, tren gula pasir naik saat ini menjadi Rp14.300 per kg.
Tak cuma pangan di atas, bawang putih juga naik dari Rp29 ribu-Rp30 ribu per kg jadi Rp34.200 per kg. Sedangkan, bawang merah naik menjadi Rp37 ribu per kg dari harga normal di kisaran Rp30 ribu-Rp35 ribu per kg.
Adapun yang masih relatif aman hanya beras. "Beberapa komoditas penting masih tinggi, seperti minyak goreng curah. Minyak goreng kemasan bahkan tembus Rp25 ribu per kg," ujarnya, Rabu (23/3).
Abdullah memproyeksikan harga pangan bakal terus melambung jika pemerintah tak mampu mengamankan stok. Harga pangan yang paling rentan naik, antara lain minyak goreng, cabai, bawang merah dan bawang putih.
"Kalau dalam minggu depan enggak aman (stok) ya akan jadi masalah kalau produksi enggak segera melimpah di pasar, macet," imbuhnya.
Senada, Pengamat Indef Rusli Abdullah juga melihat kenaikan harga pangan di pasar tradisional. Gambaran kenaikan ia dapat dari data olahan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) dengan perbandingan 1 Maret dengan 22 Maret 2022.
Di luar minyak goreng yang bergejolak, ia merangkum kenaikan terbesar terjadi pada cabai. Misalnya, cabai merah keriting naik 13,1 persen dari Rp47.300 per kg menjadi Rp53.500 per kg. Sedangkan, cabai merah besar naik 15,5 persen atau dari Rp46.850 per kg jadi Rp54.100 per kg.
Kemudian daging ayam ras naik 3,9 persen dari Rp35.050 per kg menjadi Rp36.400 per kg. Telur naik 2,6 persen dari Rp24.600 per kg menjadi Rp25.250 per kg. Daging sapi pun merangkak naik 4,6 persen dari Rp125.750 per kg menjadi Rp131.550 per kg.
Sementara, bawang merah naik 1,8 persen dari Rp35.400 per kg menjadi Rp36.050 per kg dan bawang putih melonjak 6,8 persen dari Rp30.200 per kg menjadi Rp32.250 per kg.
Selain karena faktor psikologis menjelang Ramadan, Rusli menyebutkan kenaikan bahan pangan disebabkan alasan yang berbeda-beda. Misalnya, untuk cabai dikarenakan faktor cuaca di mana hujan dan badai yang mengganggu hasil panen.
Sedangkan komoditas impor seperti daging sapi dan bawang-bawangan dikarenakan harga dari negara asal sudah mahal, termasuk Australia yang membatasi kuota ekspor sapi. Khusus, untuk minyak goreng disebabkan oleh 'drama' harga di pasar internasional yang tak kunjung usai dan diperparah oleh perang Rusia-Ukraina.
"Melihat tren ini sampai Lebaran, harga bakal naik didominasi oleh pangan yang terkait hortikultura seperti cabai, minyak goreng, dan daging sapi karena diimpor," kata Rusli.
Tak hanya sisi pasokan saja yang mendorong kenaikan harga, ia menyebut dari sisi permintaan pun terjadi lonjakan karena pelonggaran protokol kesehatan di tahun ini menuju endemi.
Ia menilai kegiatan yang sebelumnya dilarang seperti buka puasa bersama hingga makan besar di restoran bakal terjadi di tahun ini, sehingga harga naik sejalan dengan permintaan masyarakat. Kenaikan harga pangan tersebut bakal memicu infasi yang Rusli proyeksikan tak jauh dari angka Januari 2022 atau periode puasa 2019 atau sekitar 0,5 persen-0,6 persen.
Lalu, jangan lupa juga soal kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen yang akan dimulai pada bulan depan. Meski Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan kenaikan tak menyasar bahan makanan rakyat, seperti sembako, namun faktor shock (kejut) memengaruhi psikologis pasar.
Belum lagi, ada pedagang di pasar yang aji mumpung dan menaikkan harga dengan dalih semua barang naik per 1 April. Maklum, jelang Lebaran ada saja kebutuhan tambahan. "Kenaikan disebabkan katakan lah 'ongkos Lebaran' jadi harga di mark up (naikkan)," ujar Rusli.
Untuk menghindari lonjakan harga yang kian parah, ia menyarankan pemerintah untuk rajin melakukan operasi pasar menjaga harga. Lalu, pastikan semua pedagang dan distributor mengeluarkan stok mereka dan tak ditimbun agar harga makin mahal.
"Satgas Pangan harus membuka matanya lebar-lebar, lebih lebar dari bulan-bulan sebelumnya. Ini puasa butuh duit toh, takutnya ada oknum yang bermain. Ini yang mesti diwaspadai," terang dia.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menilai khusus tahun ini daya beli bakal tertekan karena dihantam dari berbagai sisi, mulai dari kenaikan harga pangan dalam negeri, PPN yang naik jadi 11 persen, hingga kenaikan komoditas impor karena konflik Rusia-Ukraina.
Jika berbagai faktor ini digabungkan, maka ia proyeksikan inflasi bakal tumbuh signifikan. Namun, ia mengaku belum melakukan perhitungan soal angka pasti inflasi. "Inflasi akan signifikan, tapi tidak murni dari kenaikan pangan itu sendiri, tapi ada psikologis dan teknis PPN," kata Faisal.
Ia mengatakan PPN bakal paling menggerus daya beli masyarakat bawah dan rentan. Selain ditekan dari sisi pengeluaran, pemasukan masyarakat menengah ke bawah pun tidak naik signifikan pada tahun ini.
Karena itu, ia proyeksikan warga akan mengakalinya dengan tak melakukan konsumsi tak mendesak karena porsi untuk belanja makanan naik.
Faisal menyebut PPN bahan makanan pokok di pasar tradisional mungkin tak berlaku karena transaksi tidak dikenakan pajak. Tetapi beda halnya dengan bahan makanan pokok kalangan menengah ke atas yang dibeli di supermarket yang mengenakan PPN.
Walau kalangan menengah ke atas punya daya beli lebih tinggi dan mungkin tidak memusingkan kenaikan PPN 1 persen, tapi tetap ada potensi mereka mengurangi belanja barang-barang di luar kebutuhan dasar.
"Yang formal itu lumayan sekitar 40 persen dari total ekonomi kita dan cakupannya besar," tutup Faisal. [Ss/bay]