Laporan itu juga mengungkapkan, Indonesia memiliki 10,8 GW PLTU batu bara dalam tahap pra-konstruksi dan 11,2 GW rencana yang sudah ditangguhkan.
Namun, baru enam unit dalam tahap pra-konstruksi, dengan total kapasitas sebesar 2 GW dan telah menerima izin untuk memulai konstruksi.
Baca Juga:
Soal Eks Bupati Batubara Urus SKCK Meski Sudah DPO, Polres Buka Suara
“Pasca komitmen iklim terbaru dari China, Korea Selatan, dan Jepang kapasitas PLTU Batubara dalam pembangunan secara global relatif menurun. Angka ini tentu akan meningkat ketika China, Korea Selatan, Jepang sebagai pendukung utama proyek PLTU di Indonesia menarik diri dari proyek-proyek yang masih direncanakan untuk memenuhi target komitmen iklim mereka.” kata Andri Prasetiyo, peneliti Trend Asia.
Sementara itu, laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) bulan ini memastikan bahwa penurunan batu bara secara radikal harus terjadi pada dekade ini.
Laporan IPCC tersebut menunjukan bahwa dunia sudah tidak memiliki anggaran karbon (carbon budget) untuk pembangunan PLTU batu bara baru dan penggunaan batu bara harus turun 75% pada tahun 2030 (dari level 2019) agar dapat menahan kenaikan suhu global dibawah 1.5 derajat Celcius sesuai dengan Perjanjian Paris.
Baca Juga:
Kasus Suap Seleksi PPPK, Eks Bupati Batubara Zahir Jadi Tersangka
“Rencana pembangunan PLTU batu bara harus berhenti sekarang” kata Flora Champenois dari Global Energy Monitor.
“Arahan dari laporan IPCC terbaru untuk memperjuangkan iklim sudah jelas hentikan pembangunan PLTU batu bara baru dan segera pensiunkan yang masih beroperasi di negara maju pada 2030, dan negara lain menyusul setelahnya,”
“Banyak negara berkembang yang sudah memangkas rencana mereka untuk membangun PLTU batu bara baru, dengan penurunan terbesar terjadi di India, Vietnam, Bangladesh, dan Mesir. Negara maju telah mengumumkan rencana baru untuk penghentian batu bara dan pemensiunan PLTU. Sekarang, negara dengan target nol emisi yang belum memiliki target penghentian batu bara harus lebih serius,” kata Lead Analyst dari Centre for Research on Energy and Clean Air, Lauri Myllyvirta.