"Korsel menyetujui tentu saja ada unsur kemanfaatannya bagi negara mereka dan untuk menjaga lingkungan strategis kawasan," ujarnya lagi.
Sementara itu, Liang Tuang Nah dari Studi Internasional Sekolah S. Rajaratnam (RSIS) mengatakan Indonesia memiliki dua pertimbangan mengenai penggunaan KF-21, yakni pertahanan wilayah yang luas dan keusangan armada pesawat.
Baca Juga:
Berbekal Perangkat Jadul, Houthi Nekat Lawan AS yang Andalkan Jet Tempur Canggih F-35
TNI AU harus menjaga 1.904.569km persegi wilayah darat Indonesia, pun ruang udara RI, termasuk yang berada di atas perairan dalam negeri. Ini membuat cakupan wilayah yang harus dipantau TNI AU cukup besar.
Tak hanya itu, pertimbangan operasional dan keamanan dapat terjadi dari waktu ke waktu, membuat militer RI bisa saja mengerahkan misi di zona ekonomi eksklusif (ZEE) negara itu.
"Semua ini membutuhkan armada udara yang cukup besar yang bisa dibilang tidak dimiliki oleh TNI AU, mengingat badan itu hanya memiliki 101 pesawat bersenjata dan enam pesawat patroli maritim untuk menjaga tanggung jawab ruang udara mereka yang luas," tulis Liang dalam The Diplomat.
Baca Juga:
Performa Garang Rudal Rusia Vympel R-73 Milik TNI AU
Selain itu, Liang berpendapat tak semua pesawat tersebut selalu tersedia atau layak terbang. Sejumlah pesawat kadang harus menjalani pemeliharaan dan menunggu pengiriman suku cadang baru.
"Melihat kondisi ini, akuisis 50 jet tempur Boramae [KF-21] dalam beberapa tahun ke depan tidak tampak sebagai proposisi yang tidak masuk akal untuk penjagaan keamanan nasional," tulis Liang lagi.
Walaupun demikian, kerja sama jet KF-21 antara Korsel dan Indonesia mengalami masalah keuangan. Indonesia diketahui masih belum membayar 800 miliar won (Rp9,1 triliun) dari 20 persen biaya produksi jet ini ke Korsel, dikutip dari The Korea Times.