WahanaNews-Kaltim | Menyusul ditandatanganinya Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penetapan Status Faktual Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia pada 31 Desember 2021, muncul kekhawatiran dana jaminan sosial (DJS) kesehatan bakal digunakan untuk membantu penanganan Covid-19.
Mantan Anggota Dewan Pengawas BPJS Kesehatan periode 2016-2021 Misbahul Munir menyampaikan, sebelumnya memang sudah ada upaya untuk menggunakan anggaran DJS kesehatan di luar pemanfaatan yang sudah diatur dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), tetapi selama ini tidak bisa dilakukan karena dikawal dengan baik oleh para direksi BPJS Kesehatan.
Baca Juga:
Tips Cara Mengatur Ruang Pribadi Hindari Konflik dengan Pasangan Saat Pandemi
Sebagai informasi, di Keppress 24/2021 dalam Diktum Ketiga disebutkan, “dalam rangka penanganan, pengendalian, dan/atau pencegahan pandemi Covid-19 beserta dampaknya khususnya di bidang kesehatan, ekonomi, dan sosial, pemerintah dapat menetapkan bauran kebijakan melalui penetapan skema pendanaan antara pemerintah dengan badan usaha yang bergerak di bidang pembiayaan pelayanan kesehatan dan skema lainnya”.
“Kalau ada kajian-kajian yang memang mengarah pada upaya untuk menggunakan dana DJS, menurut saya ini sangat riskan karena bisa berpotensi melemahkan anggaran yang sudah dimiliki BPJS Kesehatan. Pada akhirnya, ini juga akan berdampak pada pembayaran yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan,” kata Misbahul Munir dalam webinar Kang Hadi Conscience – Bauran Kebijakan Pembiayaan Covid-19 Beban BPJS Kesehatan?, Minggu (16/1/20222).
Misbahul mencontohkan kondisi yang pernah terjadi beberapa tahun lalu ketika BPJS Kesehatan masih mengalami defisit. Saat itu, BPJS Kesehatan kesulitan membayar klaim pelayanan kesehatan dari fasilitas kesehatan. Kondisi ini bisa saja kembali terjadi bila DJS Kesehatan digunakan di luar pemanfaatan yang sudah diatur dalam Undang-Undang SJSN.
Baca Juga:
Dukung Estafet Keketuaan ASEAN 2024, Indonesia Beri Hibah ke Laos Senilai Rp 6,5 Miliar
“Jadi harus ada kepastian bagaimana mengelola anggaran DJS. Sebenarnya sudah cukup pasti, tetapi upaya-upaya untuk masuk, itu memang dilakukan. Ada banyak cara yang telah dilakukan. Kalau betul ini (Kepres 24/2021) arahnya adalah untuk membangun bersama dengan BPJS Kesehatan untuk penjaminan, nampaknya pendekatanya adalah pendekatan regulasi. Tetapi kalau kita berpikir positif, apakah pemerintah ingin membangun kolaborasi dengan pihak-pihak non pemerintah bukan pada aspek biayanya, tetapi bagaimana menangani Covid-19 secara bersama-sama, itu lebih masuk akal,” kata Misbahul.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Misbahul menegaskan sudah jelas bahwa DJS adalah dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangan yang dikelola BPJS untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial. “Pemanfaatan DJS ini sudah sangat terang, jadi sangat sulit untuk diubah,” ujarnya.
Pakar asuransi sosial yang juga Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) periode 2011-2015 Chazali Situmorang menambahkan, jika bauran kebijakan yang dimaksud dalam keppres 24/2021 adalah cost sharing DJS BPJS Kesehatan, tentu ini tidak sesuai dengan amanat UU SJSN. Karena BPJS Kesehatan itu bukan badan usaha, tetapi badan hukum publik yang salah satu prinsipnya adalah nirlaba, dan dananya adalah dana amanat.