“Setelah diruwat nanti, kami inginnya Syla jadi anak soleha, anak yang pinter, dan seperti anak-anak umumnya,” kata Wagiyo.
Keesokan harinya, Syla bersama 15 orang teman gimbalnya sudah siap mengikuti ritual ruwatan dengan berpakaian serta putih dibalut kain batik berwarna ungu sebagai bawahannya. Tak lupa sehelai benang untuk ikat kepala putih juga disematkan.
Baca Juga:
Yin-Yang konsep dalam filosofi Tionghoa yang biasanya digunakan untuk mendeskripsikan Sifat Kekuatan
Ritual dipandu oleh pemangku adat bernama Mbah Sumanto. Setelah diarak menggunakan kereta kuda, Ritual Jamasan dilewati Syla bersama teman senasibnya sebelum akhirnya prosesi pemotongan rambut di Candi Arjuna dilakukan.
Kesakralan prosesi adat pencukuran pun semakin kental dengan iringan suara gending Jawa dan suluknya. Ada ‘mantra’ yang diucapkan saat prosesi dimulai. Pengantarnya seperti, ‘Sang maha wiku, pangaksama tusadyo, loka pati pitaka, katemah bagya’. Lanjutannya, ‘pangeranku imam banyu putih witapa, banyu abang seka si biyung, adem tan winasa’.
Beberapa mantra yang dipanjatkan, seperti ‘ya marani nira maya’ yang berarti dijauhkan siapapun yang akan berbuat jahat. Lanjutannya, ‘ya silapa palasia’ dengan maksud orang yang menyebabkan kelaparan justru memberikan makannya. Atau, ‘jamiroda doramiya’ yang artinya mereka yang suka memaksa justru memberikan kebebasan.
Baca Juga:
Menteri BUMN Apresiasi Gerak Cepat PLN Hadirkan Energi Bersih di IKN
Setelah di potong rambut, dan rambutnya dilarung ke telaga Balekambang, Syla akhirnya mendapat apa yang ia inginkan saking senangnya, sepeda berwarna pink langsung ia tunggangi untuk dibawa pulang.
Keberadaan anak Bajang di Dieng memberikan gambaran bahwa dalam diri manusia yang serba kekurangan, lemah, dan cacat bertahtalah Yang Maha Sempurna.
Serta dalam usahanya mengharmoniskan antara sifat yang serba kurang, lemah, dan cacat di satu sisi dan sifat yang serba sempurna di sisi yang lain.