WahanaNews-Borneo| Tanaman bioenergi mulai dikembangkan sebagai solusi jitu lahan gambut yang sudah teregradasi serta sebagai penyediaan energi baru terbarukan (EBT) di tengah masa transisi energi.
Pengembangan ini disebutkan oleh Kepala Badan Standardisasi Instrumen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ary Sudijanto.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Dalam pembukaan diskusi tentang pengembangan tanaman bioenergi pada Kongres Kehutanan Sedunia ke-15 di Seoul, Republik Korea, Rabu (4/5/2022) Ary mengatakan sektor energi berkontribusi sebesar 11 persen penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia tahun 2030.
Kontribusi ini hanya terpaut 18 persen dari 29 persen target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia di tahun 2030 seperti tercantum dalam dokumen NDC (Nationally Determined Contributions).
Untuk mencapai target tersebut Pemerintah Indonesia menaikkan penggunaan energi baru dan terbarukan, termasuk yang berasal dari bioenergi seperti bahan bakar nabati maupun biomassa.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
"Produksi bioenergi akan diarahkan pada pemanfaatan lahan terdegradasi, termasuk gambut, untuk mencegah kompetisi penggunaan lahan untuk kebutuhan produksi pangan dan konservasi keanekaragaman hayati," kata Ary Sudijanto dalam keterangannya di Jakarta.
Pengembangan bioenergi di lahan terdegradasi juga akan mendukung terpenuhinya komitmen untuk merehabilitasi lahan seluas 14 juta hektare.
Menurut Ary, pihaknya bekerja sama dengan sejumlah mitra seperti pusat penelitian kehutanan internasional (CIFOR), National Institute of Forest Science (NiFoS) Republik Korea, dan juga mitra-mitra lokal di Indonesia untuk mengidentifikasi areal dan jenis tanaman yang cocok untuk dikembangkan.