WahanaNews-Borneo | Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, menegaskan akan memangkas sistem rujukan berjenjang seiring dengan penghapusan kelas rawat inap di Rumah Sakit bagi pesertanya.
Program penerapan kelas rawat inap standar atau KRIS itu dijalankan dalam rangka jaminan kesehatan nasional atau JKN.
Baca Juga:
MPW Pemuda Pancasila Riau-BPJS Ketenagakerjaan Gelar Sosialisasi Jaminan Sosial Pekerja Informal
Dengan pemangkasan sistem rujukan berjenjang, Ghufron berharap, layanan kesehatan kepada peserta BPJS Kesehatan bakal makin optimal.
“Rujukan berjenjang itu harus kita perbaiki jangan sampai terlalu banyak. Bisa kita kurangi sehingga pasien lebih enak begitu,” kata Ghufron saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Selasa, (25/1/2022).
Tapi, Ghufron menyatakan, komitmen itu harus didukung dengan penyesuaian tarif Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs) untuk menopang kinerja fasilitas layanan kesehatan di tengah masyarakat.
Baca Juga:
Dinas Kesehatan Yogyakarta: Perilaku Heteroseksual Masih Risiko Utama Penyebaran HIV/AIDS
“Lalu untuk penyesuaian tarif bagaimana rumah sakit itu tidak terlalu rendah, sehingga tidak berbuat fraud,” kata dia.
Ia menegaskan kepentingan peserta BPJS Kesehatan tidak dikurangi selepas implementasi KRIS secara bertahap di masa mendatang.
Pelayanan kepada peserta BPJS Kesehatan selama ini pun terbatas, menurut dia, karena minimnya fasilitas kesehatan di rumah sakit.
Pemerintah lewat Kementerian Kesehatan menargetkan implementasi standardisasi kelas rawat inap akan dilakukan secara bertahap mulai tahun ini.
Hingga kini pemangku kepentingan terkait masih melakukan simulasi-simulasi terkait rencana penerapan standardisasi kelas rawat inap tersebut.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebelumnya menyebutkan rencana penghapusan kelas rawat inap di rumah sakit untuk peserta BPJS Kesehatan dilakukan untuk menjaga arus kas dana jaminan sosial yang dihimpun BPJS Kesehatan tetap positif.
Budi Gunadi berharap penerapan kelas rawat inap standar atau KRIS itu akan dapat memperluas cakupan layanan kesehatan kepada masyarakat.
“Intinya kita tidak mau BPJS Kesehatan itu defisit, tapi kita harus pastikan BPJS itu tetap positif tapi mampu meng-cover lebih luas lagi dengan layanan standar,” ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Selasa, (25/12/2022).
Soal arus kas tersebut, kata Budi Gunadi, Kemenkes masih membahas sejumlah potensi pembiayaan yang dapat dioptimalkan penggunaannya.
Sebagai contoh, beban pembiayaan kesehatan bagi BPJS Kesehatan untuk kontrol rawat jalan mencapai Rp 8,12 triliun dengan utilisasi 40,9 juta orang pada 2020.
“Apakah memang semuanya harus dilakukan di rumah sakit karena sebagian ada yang bisa dilakukan di FKTP karena fungsi dari Puskesmas sebenarnya adalah untuk skrining dan tindakan promotif preventif,” katanya.
Dengan begitu, menurut Budi Gunadi, dana jaminan sosial BPJS Kesehatan bisa dialokasikan lebih optimal pada peserta yang membutuhkan.
Artinya, pembiayaan BPJS Kesehatan itu dapat tersalurkan pada layanan kesehatan primer. [As]