"Dengan penambahan seismograf ini, kami ingin memaksimalkan dalam memberikan layanan informasi cuaca, iklim, gempa bumi serta tsunami secara cepat, tepat, dan akurat," imbuhnya.
Lebih lanjut, ia menuturkan BMKG sejak 2016 semakin menyadari Indonesia merupakan wilayah yang sangat rawan bencana. Namun, fakta tersebut tidak dibekali dengan persenjataan teknologi canggih.
Baca Juga:
22 Tsunami Gate dan 20 Akselerograf Siap Deteksi Bahaya Megathrust di Banten
Berdasarkan hal tersebut, BMKG terus melakukan penambahan dan pembaruan alat dan teknologi guna menjaga keselamatan masyarakat terhadap bencana.
Menurut Dwikorita, Meski fenomena gempa bumi dan tsunami tidak dapat diprediksi dengan tepat, tapi dampaknya dapat diminimalisir melalui kecepatan analisa gempa bumi dengan jaringan seismograf yang rapat, pemodelan tsunami yang presisi, penyebaran informasi meluas ke masyarakat dan pendidikan mitigasi bencana yang tepat.
Keberadaan Sistem Monitoring dan Peringatan Dini Tsunami, kata Dwikorita, merupakan wujud kemajuan dan kesiapsiagaan Indonesia dalam upaya mencegah atau paling tidak mengurangi dampak dari bahaya gempa bumi dan tsunami yang dapat timbul kapan saja dan di mana saja.
Baca Juga:
Mitigasi Megathrust: BMKG Apresiasi Daerah yang Siap, Tapi Tantangan Tetap Ada
"Ini ikhtiar BMKG untuk menjaga bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman gempa bumi dan tsunami. Semoga masyarakat Indonesia semakin sadar dan tangguh dalam menghadapi bencana," tandasnya.
Sebagai informasi, menurut data BMKG, frekuensi gempa bumi cenderung meningkat setiap tahun. Dalam kurun waktu 2008-2016 rata-rata terjadi sebanyak 5.000 sampai 6.000 kali gempa dalam setahun dengan peningkatan pada 2017 menjadi 7.169 kali. Angka tersebut kemudian naik kembali pada 2019 menjadi lebih dari 11.500 kali.
Sementara dalam hal bencana tsunami, selama periode 1600-Oktober 2021, telah terjadi 246 kali tsunami di Indonesia. (As)