WahanaNews-Kaltim | Sejumlah negara mengkhawatirkan terjadinya nuklir di Ukraina. Kekhawatiran itu muncul usai Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan tim pertahanan Rusia untuk menyiagakan pasukan nuklirnya.
Lalu, bagaimana kondisi bumi jika perang nuklir terjadi? Ilmuwan memperkirakan bumi sudah diambang kiamat yang ditandai dengan musim dingin nuklir yang ekstrem.
Baca Juga:
Soal Invasi Rusia, Dmitry Medvedev: Ada Kemungkinan Perang Nuklir
Dikutip dari Nature, Senin (28/2/2022), Fisikawan Atmosfer di University of Colorado Boulder, Brian Toon melakukan penelitian bagaimana perang nuklir akan memicu musim dingin ekstrim. Penelitian ini dilakukan jauh sebelum perang Rusia-Ukraina meletus.
Bersama dengan Alan Robock Ilmuwan Atmosfer Universitas Rutgers di New Jersey, Brian Toon menghitung bagaimana jelaga akibat ledakan nuklir menutup atmosfer.
Menggunakan model iklim NASA yang canggih, mereka menghitung bagaimana jelaga yang muncul dari ledakan nuklir yang membakar kota akan menutup masuknya matahari ke bumi.
Baca Juga:
Pakar Inggris: Jika Tembakkan Nuklir, Rusia Akan Tamat
Kedua tim ilmuwan ini juga menganalisis setiap langkah musim dingin nuklir, dari badai api awal dan penyebaran asapnya, hingga dampak pertanian dan ekonomi. “Kami menyatukan semua bagian itu untuk pertama kalinya,” kata Robock.
Kelompok itu melihat beberapa skenario, mulai dari perang AS-Rusia yang melibatkan sebagian besar persenjataan nuklir dunia, yang akan mengeluarkan 150 juta ton jelaga ke atmosfer.
Jelaga ini menjadi faktor kunci seberapa buruk musim dingin nuklir. Tiga tahun setelah nuklir pertama diledakkan, suhu global akan turun lebih dari 10 derajat celcius dalam skenario pertama. Ini akan melampaui musim dingin selama zaman es terakhir.
Toon dan Robock bersama tim ilmuwan menggunakan pengamatan dari kebakaran hutan besar di British Columbia, Kanada, pada tahun 2017 untuk memperkirakan seberapa tinggi asap dari kota yang terbakar akan naik ke atmosfer.
"Fenomena yang sama mungkin juga terjadi setelah perang nuklir," kata Robock.
Sedangkan Nicole Lovenduski, ahli kelautan di University of Colorado Boulder juga melakukan penelitian dampak mengerikan dari perang nuklir Amerika-Rusia terhadap air laut.
Dalam 1-2 tahun setelah perang nuklir, Lovenduski menemukan, pendinginan global akan mempengaruhi kemampuan lautan untuk menyerap karbon, menyebabkan PH meningkat drastis.
"Itu kebalikan dari apa yang terjadi hari ini, karena lautan menyerap karbon dioksida atmosfer dan air menjadi lebih asam," katanya.
Dia juga mempelajari apa yang akan terjadi pada aragonit, mineral dalam air laut yang dibutuhkan organisme laut untuk membangun cangkang di sekitar mereka.
Dalam 2 hingga 5 tahun setelah perang nuklir, lautan gelap yang dingin akan mulai mengandung lebih sedikit aragonit, menempatkan organisme dalam bahaya.
Perubahan terbesar pada aragonit akan terjadi di barat daya Samudra Pasifik dan Laut Karibia. Hal itu menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang bisa hilang selama musim dingin nuklir.
“Ini adalah perubahan dalam sistem laut yang tidak pernah dipertimbangkan oleh siapa pun sebelumnya,” kata Lovenduski.
Dalam beberapa tahun perang nuklir, efek “Nuclear Nino” akan mengguncang Samudra Pasifik. Ini adalah versi sangat dahsyat dari fenomena yang dikenal sebagai El Nino.
Efek dari perang nuklir AS-Rusia, langit yang gelap akan menyebabkan angin pasat berbalik arah dan air menggenang di Samudra Pasifik bagian timur.
Seperti ketika terjadi El Nino, kekeringan dan hujan lebat dapat melanda banyak bagian dunia selama tujuh tahun, Coupe melaporkan Desember lalu pada pertemuan American Geophysical Union.
Peneliti ketahanan pangan di Institut Studi Luar Angkasa Goddard NASA, Jonas Jagermeyr mengatakan, tim peneliti telah menemukan dampak besar dalam persediaan makanan usai perang nuklir.
Selama lima tahun, produksi jagung akan turun sebesar 13%, produksi gandum sebesar 11% dan produksi kacang kedelai sebesar 17% . Kabar buruknya ini akan terjadi hampir di seluruh negara yang juga mengalami gagal panen.
Para peneliti tidak secara eksplisit menghitung berapa banyak orang yang akan kelaparan, tetapi mengatakan bahwa kelaparan berikutnya akan lebih buruk daripada yang tercatat dalam sejarah.
"Intinya, perang yang melibatkan kurang dari 1% dari persenjataan nuklir dunia dapat menghancurkan pasokan makanan planet ini," ujar Deepak Ray, peneliti ketahanan pangan di University of Minnesota di St Paul. [Ss]