WahanaNews-Borneo | Ekonomi global bakal dilanda krisis jika Rusia dipaksa mengurangi produksi minyak mentah hingga 30 persen, kecuali Arab Saudi dan eksportir energi utama lainnya mulai memproduksi lebih banyak.
Badan Energi Internasional (IEA) menyatakan imbas dari hilangnya ekspor minyak Rusia ke pasar global tidak dapat diremehkan karena akan memicu krisis di pasar energi.
Baca Juga:
Sri Mulyani Bicara Terkait Performa Baik APBN Ditengah Dinamika Global
Belum lama ini Kanada, Amerika Serikat, Inggris dan Australia telah melarang impor minyak Rusia. Larangan itu mempengaruhi sekitar 13 persen dari ekspor Rusia.
Beberapa perusahaan minyak dan bank global memutuskan untuk hengkang dan tidak berurusan dengan Rusia setelah melakukan invasi ke Ukraina.
Uni Eropa pada Selasa (15/3) mengumumkan larangan investasi di industri energi Rusia.
Baca Juga:
RI-Malaysia Sepakat Dorong ASEAN-GCC sebagai Kekuatan Ekonomi Baru
IEA, yang memantau tren pasar energi untuk negara-negara terkaya di dunia mengatakan bahwa industri penyulingan tengah berebut mencari sumber pasokan alternatif.
Sejauh ini, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab adalah satu-satunya produsen dengan kapasitas cadangan yang signifikan.
Kedua negara tersebut adalah bagian dari koalisi 23 anggota OPEC+. Asosiasi itu sepakat meningkatkan produksi kolektifnya sebesar 400.000 barel per hari dalam beberapa bulan terakhir, tetapi seringkali gagal memenuhi targetnya sendiri.
Duta Besar UEA untuk Amerika Serikat pada pekan lalu mengatakan negaranya mendukung produksi minyak lebih banyak.
Kendati begitu, beberapa pejabat setempat mengatakan pihaknya berkomitmen pada perjanjian OPEC+.
Menurut IEA, baik UEA maupun Arab Saudi sejauh ini tidak menunjukkan kesediaan untuk memanfaatkan cadangan mereka.
"Ketidakmampuan jangka panjang blok tersebut untuk memenuhi kuota yang disepakati, sebagian besar karena masalah teknis dan kendala kapasitas lainnya, telah menyebabkan penarikan tajam dalam persediaan global," kata IEA.
Jika produsen utama tidak mengubah arah dan membuka keran lebih luas, pasar global akan kekurangan pasokan pada kuartal kedua dan ketiga 2022.
Pasar energi global menjadi tidak stabil pasca Rusia menginvasi Ukraina. Lebih dari satu pekan lalu, minyak mentah Brent melonjak drastis di atas US$139 per barel.
Analis memperingatkan harga minyak dunia bisa menyentuh US$185 hingga US$200 per barel karena perusahaan minyak menghindari pasokan dari Rusia. Lonjakan harga ini juga mendorong inflasi lebih tinggi dan menambah tekanan besar pada ekonomi global.
Namun, lonjakan harga Brent perlahan mulai mereda dan turun 30 persen dari puncaknya. Laporan terakhir minyak mentah berada di bawah US$100 per barel pada Selasa pekan ini.
Selain mengandalkan UEA dan Arab Saudi, pasokan alternatif juga bisa berasal dari Iran dan Venezuela jika pemerintah AS dan sekutunya sepakat untuk mengurangi sanksi pada kedua negara itu.
Pekan lalu, Uni Eropa menguraikan rencana untuk memangkas impor gas dari Rusia tahun ini dengan mencari pemasok alternatif dan mempercepat peralihan ke energi terbarukan.
Selain itu, UE juga akan mengurangi konsumsi melalui peningkatan efisiensi energi dan memperpanjang umur pembangkit listrik tenaga batu bara dan nuklir.
Sementara, Arab Saudi sedang dalam pembicaraan dengan Beijing untuk menentukan harga sebagian dari penjualan minyaknya dalam yuan. Hal itu akan mengurangi dominasi dolar AS di pasar energi global dan memperdalam hubungan Riyadh di timur. [Ss/qnt]