WahanaNews-Borneo | Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah 'raksasa' minyak dan gas bumi (migas) menyatakan mundur dari proyek hulu migas di Tanah Air. Mulai dari Chevron, Shell, hingga terbaru perusahaan migas asal Amerika Serikat ConocoPhillips juga menyatakan akan mundur dari pengelolaan lapangan migas di Indonesia.
Kondisi ini tentunya sangat disayangkan, terlebih ketika pemerintah memiliki target produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari (bph) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada 2030 mendatang.
Baca Juga:
Pertamina Patra Niaga Salurkan Bantuan ke 7 Posko Erupsi Gunung Lewotobi
Sementara produksi migas di Tanah Air terus menurun setidaknya dalam satu dekade terakhir.
Berdasarkan data SKK Migas, realisasi produksi terangkut (lifting) minyak hingga 30 September 2021 mencapai 661,1 ribu barel per hari (bph) atau hanya 93,8% dari target tahun ini 705 ribu bph, dan realisasi salur gas hingga kuartal III 2021 ini tercatat mencapai 5.481 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), atau hanya 97,2% dari target di APBN 2021 sebesar 5.638 MMSCFD.
Sementara lifting migas hingga akhir kuartal III 2021 ini tercatat mencapai 1,64 juta barel setara minyak per hari (boepd), atau hanya 95,8% dari target 1,71 juta boepd.
Baca Juga:
Pertamina Manfaatkan Potensi Alam untuk Serap Karbon Lewat Dua Inisiatif Terintegrasi
Lantas, apa yang sebenarnya membuat 'raksasa' migas itu hengkang dari Indonesia?
Berkaca dari kasus ConocoPhillips yang mengumumkan akan melepas seluruh asetnya kepada PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) pada pekan lalu, pada dasarnya pelepasan aset di Indonesia ini untuk menambah saham di perusahaan migas di Australia.
ConocoPhillips akan menggunakan hasil dari penjualan aset di Indonesia untuk kepentingan kepemilikan saham tambahan di Australia Pacific LNG (APLNG) sebesar 10% dari Origin Energy.