WahanaNews-Borneo | Sebagai warga Belarus, Gleb Gunko, remaja berusia 18 tahun memahami apa artinya memperjuangkan kebebasan.
Oleh karena itu, baginya, perang di Ukraina akan menjadi pertempuran perdana dalam hidupnya, melawan pasukan Rusia.
Baca Juga:
Bashar Al Assad Tinggalkan Suriah, Rusia Beri Suaka demi Stabilitas Regional
Belarus merupakan negara anggota Organisasi Kerja Sama Pertahanan (CSTO) sekutu Rusia. Gunko merupakan satu dari sekian banyak warga yang anti-pemerintahan Belarus karena menjadi kaki tangan Presiden Vladimir Putin.
"Saya pergi ke Ukraina tak hanya untuk mendukung dan berjuang untuk Ukraina, tetapi juga berjuang untuk Belarus," kata Gunko yang kini tinggal di Grojec, Polandia, kepada AFP, Kamis (17/3).
Ia kemudian berujar, "Karena kebebasan kami juga bergantung pada situasi di sana dan apa yang terjadi sekarang."
Baca Juga:
Connie Bakrie Sebut Tak Ada Urgensi dalam Kasusnya
Gunko berasal dari Minks dan pergi meninggalkan tanah kelahirannya pada 2020. Saat itu, Presiden Belarus, Alexander Lukashenko, melancarkan penindasan terhadap lawan.
Represi dari aparat mulai merajalela saat protes massa meletus usai Lukashenko mengklaim kemenangan dalam Pemilu. Kemenangan yang dianggap curang oleh Barat. Kini, ia menuai banyak kecaman karena mendukung invasi Rusia ke Ukraina.
Meski pemerintah Belarus bersekutu dengan Kremlin, banyak warga sipil yang justru memihak Ukraina, bahkan siap angkat senjata. Salah satunya adalah Gunko.
"Warga Belarus, tak bisa membantu Ukraina dengan senjata seperti yang dilakukan seluruh dunia, tapi mereka bisa berada di sisi (Ukraina). Jadi mereka akan berjuang untuk kemerdekaan negara saudara itu," demikian menurut Yayasan Belarusian House di Facebook.
LSM itu telah menangani pengiriman logistik dan relawan pejuang Belarus ke Ukraina.
"Lukashenko dan (Presiden Rusia Vladimir) Putin adalah dua teroris bagi seluruh dunia. Mereka tahu mereka punya kekuatan dan bisa menggunakannya di depan semua orang," kata Pavel Kukhta, kepala pusat sukarelawan baru.
Menurutnya, perang di Ukraina adalah pertempuran antara demokrasi dan kediktatoran.
Kukhta punya pengetahuan yang dalam soal perang. Ia pernah melawan cengkeraman militer Rusia di Donbas dari 2016 hingga 2018.
"Kami berjuang di bawah slogan 'kebebasan kami dan bagi Anda," kata Kukhta.
Saat di Donbas, ia kira Putin akan menduduki Belarus. Namun, Lukashenko rupanya bisa 'dikendalikan' Putin sehingga tak ada apa-apa di negara tersebut.
"Lukashenko tak lagi memutuskan apa pun. Semuanya berjalan melalui Rusia dan Putin," seloroh Kukhta.
Selain Kakhtu, warga Belarus yang turut marah akan tindakan Putin ke Ukraina yakni Alexey Kovalczuk.
Kovalczuk membantu mengevakuasi orang-orang dari resor Bukovel di Ukraina barat tepat setelah Rusia menginvasi.
"Saya melihat perempuan menangis, anak-anak. Mereka menyeka air mata mereka. Saya melihat api yang menyala-nyala," kata pria berusia 41 tahun yang menghabiskan beberapa tahun di pasukan khusus itu.
Ia melihat situasi yang sulit di wilayah itu. Kovalczuk juga memahami apa yang terjadi sekarang di Mariupol, Kharkiv, Kyiv dan kota-kota lain yang terus diserang Rusia.
"Saya tidak mengerti bagaimana Anda (Rusia) bisa membunuh warga sipil. Saya tidak mengerti itu," tutur dia.
Pejuang sukarelawan Belarus lain, Andrei Korsak, berjalan-jalan sembari memegang beberapa foto keluarganya yang sudah usang.
"Saya akan membawa kakek saya ke Ukraina. Mereka berdua bertempur di Perang Dunia II, sementara yang ini juga membela Warsawa pada 1920," kata Korsak sambil menunjuk wajah kerabatnya yang berseragam.
"Sekarang, seabad kemudian, saya cucu mereka terpaksa pergi melawan gerombolan Rusia lagi, untuk menghentikan mereka. Saya akan melakukan apa saja untuk menghentikan kejahatan ini," ucap dia lagi.
Meskipun Korsak lebih suka tidak membunuh siapa pun, namun jika keadaan memaksa ia akan membayangkan bahwa orang di depannya adalah polisi anti-huru hara dari Minsk.
"Akan lebih mudah bagiku seperti itu," tegasnya. [Ss/bay]