WahanaNews-Kalbar | PLN telah menandatangani kerja sama pendanaan sebesar Rp 5,4 triliun dari total Rp 8,7 triliun yang direncanakan dari Bank Dunia untuk pengerjaan proyek PLTA Cisokan berkapasitas 1,04 GW.
PLN bakal menerima pembiayaan sebesar US$ 610 juta (8,7 triliun) dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), bagian dari grup Bank Dunia, untuk proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Upper Cisokan di perbatasan Kabupaten Bandung dan Cianjur, Jawa Barat.
Baca Juga:
ALPERKLINAS: Tanpa Hemat, Indonesia Tidak Akan Bisa Swasembada Energi
Direktur Jenderal Perbendaharaan, Hadiyanto mengatakan PLN telah melakukan kerja sama pendanaan sebesar US$ 380 juta (Rp 5,4 triliun) untuk membangun PLTA Cisokan berkapasitas total 1.040 megawatt (MW) atau 1,04 gigawatt (GW). PLN mendapatkan tingkat suku bunga kompetitif dengan tenor yang cukup panjang, yakni 24,5 tahun.
“Kami sangat mendukung pembiayaan ini karena tujuannya untuk membiayai pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan PLTA Upper Cisokan yang berbasis energi baru terbarukan (EBT) dari tenaga air, lebih sustainable, terjangkau,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (15/3).
Komitmen pendanaan ini ditandai dengan penandatanganan Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman (NPPP) di auditorium PLN Kantor Pusat pada Senin (14/3), antara pihak PLN dengan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Keuangan melalui skema perjanjian penerusan pinjaman atau Subsidiary Loan Agreement (SLA).
Baca Juga:
ALPERKLINAS Himbau Konsumen Lebih Hemat Pemakaian Listrik di Era Transisi Energi Terbarukan
Hadiyanto melanjutkan, skema penerusan pinjaman ini merupakan yang pertama bagi PLN dalam enam tahun belakangan. Terakhir kali PLN menandatangani SLA pada 2016.
Selain itu, proyek PLTA Upper Cisokan juga akan mendapat dana tambahan sebesar US$ 230 juta atau Rp 3,3 triliun dari Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Pinjaman tersebut akan diperoleh dalam skema serupa dalam bentuk co-financing dengan Bank Dunia.
Sementara itu, Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, mengatakan dukungan pembiayaan yang kompetitif itu sekaligus menjadi bukti PLN mendapatkan kepercayaan internasional dalam upaya membangun infrastruktur kelistrikan melalui pembangkit-pembangkit energi baru terbarukan (EBT) dan rendah karbon.
“Ini merupakan langkah nyata PLN yang didukung oleh kehadiran pemerintah RI dalam proses transisi energi menuju net zero emissions dengan pasokan EBT dengan skala dan kapasitas besar," ujar Darmawan.
Pembangunan PLTA ini menunjukkan komitmen PLN dalam rangka transisi energi melalui pengembangan EBT sebagaimana tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Tahun 2021-2030. Proyek ini ditargetkan beroperasi pada 2025 dan memasok kebutuhan listrik di sistem Jawa-Bali.
"Proyek yang menggunakan teknologi pumped storage ini akan menghasilkan energi efisien, rendah karbon, serta dapat menjadi enabler utama dalam rangka proses transisi energi dan masuknya pembangkit EBT intermittent dalam portofolio besar di sistem Jawa-Bali," terang Darmawan.
Darmawan menambahkan, pembangunan PLTA Upper Cisokan ini merupakan salah satu bentuk dukungan PLN terhadap pemerintah Indonesia untuk mewujudkan ekonomi rendah karbon dan pencapaian target bauran EBT di Indonesia menuju Net Zero Emission 2060.
Proyek ini juga mendukung salah satu pilar G20 tahun 2022, yakni pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif dengan sustainable energy transition yang menjadi isu prioritas.
Hal serupa juga dikatakan oleh Deputi Bidang Keuangan dan Manajemen Risiko Kementerian BUMN, Nawal Nely. Ia menyebut, dalam konteks global dan nasional, pembangunan PLTA Upper Cisokan merupakan langkah yang tepat dalam proses transisi energi.
Dalam pandangannya, proyek ini menjawab mandat Sustainable Development Goals (SDGs) terkait pemerataan akses listrik, efisiensi penggunaan energi, serta memperbesar proporsi EBT pada portofolio energi primer PLN dalam jangka panjang.
Selain itu, PLTA ini akan mengurangi ketergantungan dan sensitivitas APBN terhadap gejolak harga komoditas utama, terutama minyak dan gas. Sehingga, koefisien korelasi biaya dengan pergerakan harga minyak dan gas dapat dikurangi.
"Ini satu-satunya proyek yang sesuai antara durasi pinjaman dan life expectacy project, sehingga risiko re-financing, selain adanya bunga yang manageable, juga dapat ditangani," tukas Nely. [Ss/qnt]