MetroNusantaraNews.co | Para peneliti dari Wonkwang University mengolah ulat tepung dengan gula, dan mengklaim rasanya seperti daging asli. Mereka berharap temuannya dapat berkontribusi dalam mendorong lebih banyak orang untuk mencoba serangga yang dapat dimakan.
Dengan populasi global yang diperkirakan akan mencapai 9,7 miliar pada tahun 2050, PBB telah merekomendasikan serangga yang diproduksi secara massal sebagai makanan.
Baca Juga:
Pemkot Jakbar: Pagelaran Gebyar Seni Betawi di Sekolah Beri Siswa Pemahaman Kearifan Lokal
"Serangga yang dapat dimakan dapat mendiversifikasi makanan, meningkatkan mata pencaharian, berkontribusi pada ketahanan pangan dan gizi, serta memiliki jejak ekologis yang lebih rendah dibandingkan dengan sumber protein lainnya," kata PBB dalam laporan tahun 202, seperti dilansir dari detikcom.
Manfaat potensial ini, sebut PBB, dikombinasikan dengan minat yang tinggi dalam mengeksplorasi sumber makanan alternatif yang bergizi dan ramah lingkungan yang memacu produksi komersial serangga sebagai makanan dan pakan ternak.
"Serangga adalah sumber makanan bergizi dan sehat dengan jumlah tinggi asam lemak, vitamin, mineral, serat dan protein berkualitas tinggi, seperti daging," kata Dr Hee Cho, peneliti utama proyek studi ini.
Baca Juga:
SMPN 229 Jakarta Gelar Karya P5 Selebrasi Kearifan Lokal
Dalam studi tersebut, tim menyelidiki cara membuat serangga yang dapat dimakan. Mereka menganalisis profil rasa serangga dan menemukan bahwa larva mentah memiliki rasa seperti kombinasi tanah basah, udang, dan jagung manis.
Selanjutnya, tim menilai bagaimana rasa akan berubah saat serangga dimasak. Mereka menemukan bahwa ulat tepung kukus mengembangkan aroma seperti jagung manis yang lebih kuat, sementara varietas panggang dan goreng memiliki aroma seperti udang dan minyak goreng.
Dengan harapan membuat ulat tepung terasa lebih berdaging, para peneliti memanaskannya dengan gula, sehingga memicu reaksi Maillard, yaitu reaksi antara asam amino dan gula pereduksi yang memberi warna kecoklatan yang khas pada makanan.
Dalam kasus ulat tepung, reaksi Maillard ditemukan untuk membuat 98 senyawa volatil. Para peneliti mengambil sampel untuk memperbaiki rasio ulat tepung dengan gula, sampai akhirnya menciptakan bau seperti daging dihasilkan.
"Ini menandai pertama kalinya ulat tepung digunakan untuk menghasilkan rasa yang diinginkan," kata para peneliti.
Temuan mereka akan berkontribusi pada pengembangan komersial perasa dan bumbu seperti daging dan gurih dan akan mendorong lebih banyak orang untuk mencoba serangga yang dapat dimakan.
Kearifan lokal
Mengkonsumsi serangga mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang. Namun hal ini umum dilakukan di beberapa wilayah dunia, terutama di Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Masing-masing wilayah ini, memiliki kearifan lokal makanan serangga. Indonesia juga termasuk loh.
Contohnya, masyarakat Papua sudah memiliki kebiasaan mengkonsumsi ulat sagu, bahkan dalam keadaan mentah. Kemudian di beberapa daerah di Pulau Jawa, serangga biasa dijadikan bermacam masakan.
Di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, belalang diolah dengan aneka bumbu penyedap lalu digoreng hingga kering. Tak hanya belalang, jangkrik juga kerap diolah menjadi camilan bercita rasa gurih.
Selain itu, di beberapa daerah lainnya di Indonesia, ada juga yang menyantap laron. Serangga ini sering diolah menjadi peyek, gorengan hingga oseng-oseng laron.
Masih ada lagi, di Banyuwangi dan Madiun, ada salah satu hidangan berbahan tawon yang populer, yaitu botok tawon. Hidangan ini memiliki cita rasa gurih dengan tekstur yang sedikit renyah. [JP]