MetroNusantaraNews.co | Jawa Barat dikenal sebagai provinsi yang memiliki beragam peninggalan bersejarah mulai dari benda, kesenian hingga upacara adat yang tentunya memiliki maksud serta tujuan masing-masing.
Tiap daerah di Jawa Barat pastinya memiliki upacara adatnya masing-masing. Dilansir dari detik, berikut 5 upacara adat yang ada di Jawa Barat:
Baca Juga:
Yin-Yang konsep dalam filosofi Tionghoa yang biasanya digunakan untuk mendeskripsikan Sifat Kekuatan
1. Upacara Adat Nyangku Kabupaten Ciamis
Kabupaten Ciamis memiliki upacara adat yang telah ada sejak zaman dulu dan masih rutin dilakukan hingga sekarang. Upacara adat tersebut yakni Upacara Adat Nyangku. Istilah Nyangku berasal dari kata yanko dalam Bahasa Arab yang memiliki arti membersihkan.
Kata yanko tersebut kemudian diubah pelafalannya menjadi nyangku yang berarti nyaangan laku atau dalam Bahasa Sunda berarti menerangi perilaku.
Baca Juga:
Menteri BUMN Apresiasi Gerak Cepat PLN Hadirkan Energi Bersih di IKN
Dalam laman tersebut dijelaskan Upacara Adat Nyangku telah ada sejak zaman Kerajaan Panjalu yang dimana upacara adat ini dianggap memiliki nilai-nilai baik bagi kehidupan oleh masyarakat pada waktu itu.
Upacara Adat Nyangku dilaksanakan pada hari Senin atau Kamis terakhir di bulan Maulud dengan maksud untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW dan mengenang Prabu Sanghyang Borosngora sebagai Raja Panjalu, orang yang menyebarkan agama Islam di Ciamis.
Adapun prosesinya, Upacara Adat Nyangku diawali dengan pengambilan air keramat dari tujuh titik mata air petilasan Prabu Sanghyang Borosngora untuk membersihkan benda pusaka. Air yang telah diambil kemudian disimpan di tempat khusus selama 40 hari sampai hari pelaksanaan Upacara Adat Nyangku.
Pada hari Upacara Adat Nyangku, benda pusaka dikirab menuju Pulau Nusa Gede yang ada di tengah danau Situ Lengkong Panjalu, tempat dimakamkannya Raja Panjalu yaitu Prabu Hariang Kancana dan Bupati Galuh terakhir yaitu Cakranagara III.
Sementara puncak Upacara Adat Nyangku yakni membersihkan benda pusaka dengan air dari tujuh sumur itu dan dikeringkan dengan tungku berisi kemenyan. Benda pusaka itu selanjutnya diolesi minyak kelapa murni, dibungkus daun kelapa muda serta dililit kain putih.
Setelah selesai ritual pembersihan, benda-benda pusaka tersebut diarak untuk disimpan kembali di Pasucian 'Bumi Alit'.
2. Upacara Tradisional Babarit di Kabupaten Kuningan
Upacara adat juga ada di Kabupaten Kuningan yang bernama Babarit. Upacara Adat Babarit dilakukan untuk mengungkapkan rasa syukur masyarakat kepada sang pencipta. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada bulan Suro oleh masyarakat Desa Saranghiang.
Upacara Adat Babarit dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Desa Sagarahiang, baik yang bertempat tinggal di Desa Saragahiang maupun daerah yang berada dekat dengan Desa Sagarahiang.
Upacara Adat Babarit diawali dengan doa bersama yang dilanjutkan dengan penyembelihan domba. Hal ini diyakini masyarakat setempat dapat menolak bala.
Namun domba yang disembelih harus berjenis domba kendit yang secara kasat mata tidak berbeda dengan domba lainnya. Namun domba kendit ini memiliki warna hitam dengan garis putih melingkar di bagian perutnya.
Usai menyembelih domba kendit, masyarakat akan berziarah ke makam Mbah Bewo dan Syekh Maulana yang dipercaya merupakan makam leluhur mereka.
Upacara adat ini akan diakhiri dengan proses Ujub-Ujub yakni menyanyikan lagu-lagu Sunda buhun oleh sinden atau ronggeng.
3. Upacara Nadran di Indramayu-Cirebon
Di pesisir Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat, terdapat upacara adat Nadran atau biasa dikenal dengan pesta laut yang diadakan oleh para nelayan. Nadran biasanya banyak dilakukan oleh nelayan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon.
Nadran sendiri merupakan bentuk ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh dengan tujuan memohon perlindungan di laut lepas.
Upacara ini dilaksanakan setiap bulan Syuro karena dianggap berkaitan dengan musibah banjir yang dialami oleh Nabi Nuh AS. Namun, seiring berjalannya waktu, Nadran dilakukan pada masa along dimana para nelayan memperoleh tangkapan melimpah.
Sebelum Nadran dilakukan terlebih dulu dipilih pemangku kapalan atau orang yang mempersiapkan segala macam sesajen untuk ditaruh di atas kapal sekaligus juga sebagai pemimpin upacara.
Menariknya di upacara Nadran ini dana yang digunakan berasal dari patungan para nelayan. Dana itu digunakan untuk menghias desa, mengadakan pertunjukan, pembuatan kapalan dan pembelian sesajen.
Adapun sesajen terdiri dari dua bagian, yaitu sesajen yang disediakan oleh pemangku kapalan dan sesajen yang disediakan oleh para nelayan.
Sesajen yang disediakan oleh pemangku kapalan meliputi kepala kerbau dan jerohan wedus (kambing). Sementara sesajen yang disediakan oleh para nelayan diantaranya pisang tujuh macam, kue tujuh rupa, rokok cerutu atau kretek hingga beras ketan hitam.
Untuk upacara Nadran sendiri dimulai dengan penyimpanan sesajen di atas kapalan yang kemudian dilepas ke laut dan ditutup dengan perebutan semua sajen tersebut di tengah laut.
4. Upacara Syafaran di Bandung Barat
Kabupaten Bandung Barat juga memiliki upacara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Parongpong. Upacara itu ialah Syafaran atau Saparan.
Syafaran merupakan upacara tradisional yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Baru, Desa Cigugur Girang, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat. Upacara ini secara khusus dilakukan oleh warga yang lahir pada bulan Syafar.
Masyarakat setempat percaya bahwa bulan Syafar sarat akan aura negatif dan dikhawatirkan akan melekat pada orang yang lahir pada bulan tersebut.
Untuk mengusir aura itu, biasanya dilakukan upacara Syafaran dengan membuat nasi merah, ayam merah, ayam putih, nasi tumpeng teri, leupeut, kupat, tangtang angin, kue-kue, buah-buahan, dan 7 macam bunga yang dimasukkan ke dalam wadah berisi air.
Perlengkapan tersebut disediakan sendiri oleh warga yang akan melaksanakan upacara di rumah masing-masing.
Selain itu, warga (penyelenggara) juga mengundang tetangga agar hadir dalam upacara Syafaran. Adapun yang memimpin upacara tersebut adalah tokoh adat setempat.
5. Upacara Siraman dan Ngalungsur Geni di Kabupaten Garut
Selanjutnya upacara tradisional juga ada di Kabupaten Garut tepatnya di Desa Dangiang. Disana terdapat upacara Siraman dan Ngalungsur Geni yang sudah turun temurun dilakukan tiap tahun.
Siraman sendiri memiliki arti mencuci, Ngalungsur berarti meneruskan dan Geni adalah salah satu benda pusaka berupa meriam bernama Guntur Geni.
Dengan demikian upacara Siraman dan Ngalungsur Geni memiliki arti mencuci dan meneruskan (mewarisi) kesaktian benda-benda pusaka milik leluhur, sekaligus sebagai penghormatan pada leluhur sebagai cikal bakal pendiri desa.
Ada lima tahapan dalam Upacara Siraman dan Ngalungsur Geni yaitu ngalirap, membuka sejarah desa, ziarah kubur, mencuci benda-benda pusaka, dan doa bersama.
Ngalirap adalah bergotong royong untuk membuat pagar baru di sekitar rumah joglo, membersihkan jalan, masjid, dan makam. Kegiatan ini dilakukan pagi hingga sore hari. Malamnya, dilaksanakan acara membuka sejarah desa yang dipimpin oleh kuncen di Joglo hingga dini hari.
Usai menceritakan sejarah desa, dilanjutkan ziarah kubur ke makam leluhur Eyang Batara Turus Bawa.
Pagi hari, peziarah berangkat ke makam leluhur untuk melaksanakan upacara mencuci benda pusaka. Mencuci benda pusaka dilakukan di Sungai Cidangiang yang berjarak lebih kurang 300 meter dari Joglo.
Setelah benda pusaka dicuci, dilakukan pembersihan dan disimpan kembali ke ruang khusus di Joglo. Terakhir, adalah doa dan makan bersama. [JP]