MetroNusantaraNews.co | Di Pulau San Juan di negara bagian Washington, sebuah taman sejarah nasional mengingatkan kembali pada sengketa perbatasan tahun 1859, ketika Inggris dan Amerika hampir berperang akibat seekor babi.
Dihiasi oleh ladang-ladang luas dan lumbung kayu yang berjarak jauh antara satu sama lain, Pulau San Juan pulau terbesar kedua di Kepulauan San Juan di barat laut negara bagian Washington adalah tempat yang tenang dan santai.
Baca Juga:
Donald Trump Mulai Umumkan Nominasi Anggota Kabinet, Ini Daftarnya
Paus Orca berenang di perairan sekitarnya dan pantai selatan Pulau Vancouver, Kanada, terletak kurang dari tujuh mil ke arah barat. Sulit dipercaya bahwa di sudut terpencil AS ini, pada tahun 1859, Inggris dan Amerika hampir berperang akibat seekor babi yang ditembak mati.
Masalah itu bermula dari sengketa perbatasan.
Pada tahun 1846, Perjanjian Oregon menetapkan paralel ke-49 sebagai perbatasan resmi antara wilayah Inggris dan Amerika di Pacific Northwest.
Baca Juga:
Prabowo Dukung Solusi Dua Negara untuk Selesaikan Konflik Palestina
Namun, dalam perjanjian tersebut, ada pengecualian untuk Pulau Vancouver, yang, meskipun jatuh di bawah paralel ke-49, diizinkan untuk tetap menjadi wilayah Inggris.
Dalam pengecualian ini, menurut kata-kata di dalam perjanjian tersebut, garis perbatasan ditentukan pada "bagian tengah saluran perairan yang memisahkan benua dari Pulau Vancouver".
Tetapi karena perairan Laut Salish berisi banyak pulau kecil dan beberapa saluran yang berbeda, tidak ada tercapai sebuah persetujuan terkait perbatasan yang sebenarnya.
Akibat menempati wilayah yang diklaim oleh kedua negara, Pulau San Juan tiba-tiba berada di pusat krisis diplomatik yang serius.
'Perang Babi'
Tidak banyak yang mengganggu kedamaian tempat ini hampir dua abad kemudian, ketika saya mengayuh sepeda ke selatan dengan sepeda sewaan dari satu-satunya permukiman di pulau itu, Friday Harbor.
Waktu itu adalah hari yang hangat dan gerah di bulan Juli dan saya sedang menuju Kamp Amerika, bagian dari Taman Sejarah Nasional yang didedikasikan untuk apa yang disebut "Perang Babi".
Beberapa minggu sebelumnya, taman ini telah membuka sebuah pusat pengunjung baru dan saya penasaran untuk mengetahui bagaimana kematian babi hutan yang malang hampir memicu konflik internasional.
Kamp Amerika terletak di titik paling selatan pulau itu, enam mil di selatan Friday Harbor, di jalan yang mulus dan bergelombang melalui lahan-lahan pertanian yang dipagari dengan tanaman yang lebat.
Peternakan pertama kali didirikan di Pulau San Juan pada tahun 1853 ketika Perusahaan Teluk Hudson yang dikelola Inggris mendirikan Peternakan Domba Belle Vue dengan tujuan mendapatkan pijakan di wilayah tersebut dan menggagalkan klaim saingan Amerika di kepulauan San Juan.
Ketika bisnis itu menjadi menguntungkan, Amerika memutuskan bahwa mereka juga ingin mengambil bagian dan, dalam lima tahun, belasan pemukim AS telah berlayar dari daratan untuk mengklaim hak penggembalaan pendaftaran hak yang dianggap ilegal oleh Inggris.
Ketegangan telah membara di bawah permukaan hingga 15 Juni 1859, ketika seorang pemukim Amerika bernama Lyman Cutlar marah dan menembak seekor babi yang dia temukan sedang mencari makan di kebunnya.
Ternyata, hewan itu adalah milik pihak Inggris, yang menjadi sangat marah dengan insiden tersebut sehingga mereka mengancam akan mengusir pemukim Amerika secara massal.
Ketegangan meningkat
Tanpa gentar, Amerika meminta perlindungan militer. Menjawab panggilan tersebut, Kapten George Pickett (yang kemudian berjuang untuk konfederasi dalam Perang Saudara AS) dikirim ke pulau itu, mendarat dengan pasukan 64 orang di dekat Kamp Amerika pada 27 Juli.
Inggris menanggapi dengan mengirim tiga kapal perang ke daerah itu, saat Pickett meningkatkan pasukannya menjadi 450 orang.
Pihak Inggris kemudian mulai melakukan latihan militer di Pulau San Juan. Latihan ini berlangsung ketika kapal, senjata, dan marinir saling berhadapan di tengah ketegangan militer yang meningkat.
Kembali ke masa kini yang damai, saya meluncur ke Kamp Amerika dan berhenti sejenak untuk mengagumi pusat pengunjung baru yang terbuat dari kayu dan kaca yang mewah.
Di luar, panel grafis menampilkan peta dan motif suku asli setempat, sementara di dalam ruangan, gambar dan cerita menjelaskan lini masa krisis, mulai dari penembakan fatal oleh Cutlar hingga ke ambang konflik.
Jadi seberapa dekat kedua kekuatan besar itu hampir mencapai titik perang?
"Sangat dekat," kata Cyrus Forman, penjaga hutan di taman itu.
"Gubernur James Douglas, otoritas kerajaan di British Columbia, memerintahkan Angkatan Laut Kerajaan untuk menembaki setiap orang Amerika yang memperkuat pasukan awal George Pickett. Kapten [Inggris] James Prevost berpikir ulang untuk melaksanakan perintah itu dan akhirnya menjadi ragu ketika dia benar-benar melihat orang Amerika mendarat."
Ketika berita tentang "Perang Babi" mencapai Washington DC pada Oktober 1859, Presiden Buchanan mengirim utusan senior dalam perjalanan panjang ke barat untuk mencoba mengakhiri perselisihan.
Mencegah terjadinya perang
Kedatangan mereka dengan cepat membantu meredakan ketegangan, dan aksi militer akhirnya dihindari demi gencatan senjata.
"Ada dua orang yang paling dianggap berhasil mencegah perang," jelas Forman.
"Laksamana Lambert Baynes, komandan pasukan Angkatan Laut Kerajaan di Pasifik, yang menolak untuk terlibat dalam permusuhan apa pun meskipun ada tekanan kuat dari Gubernur Douglas dan legislatif British Columbia; dan Jenderal Winfield Scott, yang melakukan perjalanan dari Kota New York ke Kepulauan San Juan, di mana dia membuat perjanjian pendudukan bersama yang memungkinkan kedua belah pihak untuk secara damai menduduki Pulau San Juan selama 12 tahun sementara proses diplomatik berlangsung."
Menceritakan kembali sejarah
Dibuka pada Juni 2022, pusat pengunjung ini dengan jelas menggambarkan perselisihan yang terjadi sambil membingkai ulang konteks historisnya.
Selama bertahun-tahun, narasi populer tentang "Perang Babi" telah menekankan permusuhan antara Inggris dan Amerika tetapi gagal untuk mengakui bagian penting lain dari cerita itu: yakni kehidupan penduduk asli Pesisir Salish di pulau tersebut yang tengah mendiami Pacific Northwest selama ribuan tahun sebelum pemukim Eropa tiba.
Perbatasan sewenang-wenang yang melintasi tanah mereka selama krisis, menggusur suku asli dan memiliki dampak besar terhadap budaya dan mata pencaharian mereka.
Pameran baru ini menampilkan mural mendetail yang menggambarkan pemandangan kehidupan di Pesisir Salish sebelum kedatangan pemukim Eropa dan sebuah canoe warga asli yang indah digantung di langit-langit, yang merupakan karya pemahat Lummi Nation, Dean Washington.
"Tujuan kami adalah untuk menciptakan fasilitas yang sesuai dengan tempat yang luar biasa istimewa ini - untuk menghormati kekayaan budaya masa lalu, sekarang dan masa depan," jelas pengawas taman Elexis Fredy, dari bagian konsepsi dan pameran baru pusat tersebut.
"Sejak awal proyek, kami berkomitmen untuk memastikan seluruh nuansa dan kompleksitas taman ini tercerminkan."
Proyek ini direncanakan bekerja sama langsung dengan Coast Salish Tribes (Suku-suku Pesisir Salish), dan tujuh dayung kano yang dihias dengan rumit, masing-masing dari suku yang berbeda, dipajang di depan mural.
Pendudukan bersama Pulau San Juan berlangsung dari tahun 1859 hingga 1872, selama waktu itu pasukan Inggris dan AS hidup berdampingan secara damai di kamp-kamp terpisah di kedua ujung pulau. Hubungan di antara mereka dengan cepat berubah dari dingin menjadi ramah.
Meninggalkan pusat pengunjung, saya berangkat untuk menjelajahi Kamp Amerika dan sisa-sisa pangkalan militer yang berakar setelah gencatan senjata tahun 1859. Belasan bangunan pernah berdiri di situs tersebut. Hanya tiga yang tersisa.
Menavigasi di sepanjang jalan terbuka yang berangin melalui jalur padang rumput yang bergulir, saya melewati dua markas mantan perwira yang dikelilingi oleh pagar kayu putih dan menatap Kanada di seberang Selat Haro yang dulunya kontroversial.
Meskipun ada beberapa pengingat fisik perkemahan, serangkaian papan nama ditempatkan secara strategis membantu menghidupkan sejarah.
Ada sebuah jalan setapak menanjak ke benteng di selatan dan jalan setapak lainnya menyebar ke pantai, tebing, dan mercusuar. Berbeda dengan bagian pulau lainnya, taman ini memiliki ekosistem semak belukar yang tidak biasa, dan merupakan rumah bagi satu-satunya populasi kupu-kupu Marmer Pulau yang sangat langka.
Selesai berjalan, saya bersepeda sejauh 13 mil di sepanjang jalan pantai yang berliku menuju ke Kamp Inggris, yang terletak di pantai barat laut pulau itu.
Terletak di sebelah teluk terlindung dan dikelilingi oleh hutan, pemandangannya sangat berbeda dengan dataran terbuka Kamp Amerika.
Dari dua pangkalan tersebut, Kamp Inggris dinilai lebih mewah. Para petugas ditempatkan di rumah-rumah kayu yang rapi di lereng bukit, dengan taman khas Inggris terletak di bawahnya.
Tempat tinggal itu sudah lama hilang tetapi tamannya tetap ada, bersama dengan benteng pertahanan kecil dan bangunan barak berdinding papan putih.
Sebuah jalan militer pernah membentang di antara kedua kubu, yang saat ini sedang dicoba untuk dihidupkan kembali oleh komite jejak lokal.
Pasca 1859, Amerika dan Inggris bernegosiasi selama lebih dari satu dekade untuk menemukan resolusi yang memuaskan untuk sengketa perbatasan.
"Pada akhirnya, mereka memutuskan bahwa mengingat kerasnya posisi mereka, mereka perlu memiliki arbitrase yang mengikat yang dilakukan oleh arbiter netral," kata Forman kepada saya.
Kaiser Wilhelm dari Jerman dipekerjakan sebagai wasit dan diundang untuk memilih antara dua jalur laut yang berbeda sebagai perbatasan potensial: Selat Haro yang disukai oleh Amerika, atau Selat Rosario yang disukai oleh Inggris.
Pada akhirnya, ia memilih mendukung Selat Haro, dan, pada September 1872, marinir Inggris mengemasi tas mereka saat Pulau San Juan dan pulau-pulau tetangganya secara damai diserahkan ke Amerika Serikat.
Saat saya bersiap untuk mengayuh kembali ke Friday Harbor, saya melihat sekilas ke Kamp Inggris di mana Union Flag masih berkibar.
Saat ini, 150 tahun sejak penyelesaian perselisihan pada tahun 1872, mudah untuk menyepelekan "konflik" di mana satu-satunya korban adalah babi. Tapi, jika perang pecah, biaya keseluruhan untuk kedua negara bisa sangat besar.
Untungnya, hal itu tidak terjadi, dan hari ini taman bersejarah Pulau San Juan berdiri sebagai pengingat bahwa perang bahkan yang dimulai oleh hewan ternak dapat dicegah. [JP]